Senin, 11 April 2011

PERATURAN DIREKSI LEMBAGA PENGELOLA DANA BERGULIR KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH NOMOR 23 /PER/LPDB/2009


KEMENTERIAN NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH R.I.
LEMBAGA PENGELOLA DANA BERGULIR KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN
MENENGAH
( LPDB-KUMKM )

PERATURAN DIREKSI
LEMBAGA PENGELOLA DANA BERGULIR
KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH
NOMOR 23 /PER/LPDB/2009
TENTANG
PETUNJUK TEKNIS
PEMBERIAN PINJAMAN/PEMBIAYAAN KEPADA
KOPERASI SIMPAN PINJAM/UNIT SIMPAN PINJAM-KOPERASI PRIMER
DAN/ATAU KOPERASI JASA KEUANGAN SYARIAH/UNIT JASA
KEUANGAN SYARIAH-KOPERASI PRIMER
DIREKSI LEMBAGA PENGELOLA DANA BERGULIR
KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kemampuan
Usaha Koperasi Simpan Pinjam/Unit Simpan
Pinjam-Koperasi Primer dan/atau Koperasi Jasa
Keuangan Syariah/Unit Jasa Keuangan Syariah-
Koperasi Primer (KSP/USP-Kop dan/atau
KJKS/UJKS-Kop) untuk mengakses pinjaman/
pembiayaan, diperlukan pemberian pinjaman/
pembiayaan kepada KSP/USP-Kop dan/atau
KJKS/UJKS-Kop;
Dir 1.1 Dir.1.3 Dir.2.1 Dir.2.2 Dir.2.3 Dir.3.1
Dir.3.2 Dir.1 Dir.2 Dir.3
2
b. bahwa pemberian pinjaman/pembiayaan kepada
KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop
dimaksudkan sebagai sarana peningkatan
kapasitas dan kualitas KSP/USP-Kop dan/atau
KJKS/UJKS-Kop dalam pemberian pinjaman/
pembiayaan kepada Usaha Mikro dan Usaha Kecil
(UMK) anggota/calon anggotanya;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud huruf a dan huruf b, perlu ditetapkan
Peraturan Direksi LPDB-KUMKM tentang Petunjuk
Teknis Pemberian Pinjaman/Pembiayaan Kepada
Koperasi Simpan Pinjam/Unit Simpan Pinjam-
Koperasi Primer dan/atau Koperasi Jasa Keuangan
Syariah/Unit Jasa Keuangan Syariah-Koperasi
Primer;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3502);
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4400);
5. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 93,Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4866);
Dir 1.1 Dir.1.3 Dir.2.1 Dir.2.2 Dir.2.3 Dir.3.1
Dir.3.2 Dir.1 Dir.2 Dir.3
3
6. Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1995 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh
Koperasi (Lembaran Negara RI tahun 1995 Nomor
19,Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3591);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4502);
8. Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005 tentang
Perubahan atas Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Negara Republik Indonesia;
9. Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2007 tentang
Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan
Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah;
10. Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil
dan Menengah Republik Indonesia Nomor 91/Kep/
M.KUKM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah;
11. Keputusan Menteri Keuangan Nomor Kep-292/
MK.5/2006 tentang Penetapan Lembaga Pengelola
Dana Bergulir Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah pada Kementerian Negara Koperasi dan
Usaha Kecil dan Menengah sebagai Instansi Pemerintah
yang Menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum;
12. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah Republik Indonesia Nomor 35.3/Per/
M.KUKM/X/2007 tentang Pedoman Penilaian Kesehatan
Koperasi Jasa Keuangan Syariah/Unit Jasa Keuangan
Syariah;
13. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah Nomor 33/Per/M.KUKM/XII/2007 tentang
Dir 1.1 Dir.1.3 Dir.2.1 Dir.2.2 Dir.2.3 Dir.3.1
Dir.3.2 Dir.1 Dir.2 Dir.3
4
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Koperasi
dan Usaha Kecil dan Menengah;
14. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.05/2008
tentang Pedoman Pengelolaan Dana Bergulir pada
Kementrian Negara/Lembaga;
15. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah Nomor 11/Per/M.KUKM/VI/2008 tentang
Organisasi Tata Kerja Lembaga Pengelola Dana Bergulir
Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah;
16. Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil
dan Menengah Republik Indonesia Nomor 21/Kep/
M.KUKM/VII/2008 tentang Pendelegasian Kewenangan
Pengelolaan Dana Bergulir Koperasi dan Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah;
17. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.05/2008
Tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Lembaga
Pengelola Dana Bergulir Koperasi dan Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah Pada Kementerian Negara
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 221/PMK.05/2008 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.05/2008
Tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Lembaga
Pegelola Dana Bergulir Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah Pada Kementerian Negara Koperasi dan
Usaha Kecil dan Menengah;
18. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah Republik Indonesia Nomor 19/Per/
M.KUKM/XI/2008 tentang Pedoman Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi;
19. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah Republik Indonesia Nomor
20/Per/M.KUKM/XI/2008 tentang Pedoman Penilaian
Kesehatan Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan
Pinjam Koperasi;
Dir 1.1 Dir.1.3 Dir.2.1 Dir.2.2 Dir.2.3 Dir.3.1
Dir.3.2 Dir.1 Dir.2 Dir.3

5
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DIREKSI LEMBAGA PENGELOLA
DANA BERGULIR-KOPERASI DAN USAHA
MIKRO, KECIL DAN MENENGAH TENTANG
PETUNJUK TEKNIS PEMBERIAN PINJAMAN/
PEMBIAYAAN KEPADA KOPERASI SIMPAN
PINJAM/UNIT SIMPAN PINJAM-KOPERASI
PRIMER DAN/ATAU KOPERASI JASA
KEUANGAN SYARIAH/ UNIT JASA KEUANGAN
SYARIAH-KOPERASI PRIMER.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pengertian
Dalam Petunjuk Teknis ini yang dimaksud dengan :
1. Pemberian Pinjaman/pembiayaan Kepada Koperasi Simpan
Pinjam/Unit Simpan Pinjam-Koperasi Primer dan/atau Koperasi Jasa
Keuangan Syariah/Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi Primer
(KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop) adalah suatu bentuk
pemberian pinjaman/pembiayaan dari LPDB-KUMKM kepada Koperasi
Simpan Pinjam /Unit Simpan Pinjam-Koperasi Primer dan/atau Koperasi
Jasa Keuangan Syariah/Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi Primer
untuk diterus pinjamkan kepada Usaha Mikro dan Kecil.
2. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik perorangan dan/atau badan
usaha perorangan yang memenuhi kriteria memiliki kekayaan bersih
paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk
Dir 1.1 Dir.1.3 Dir.2.1 Dir.2.2 Dir.2.3 Dir.3.1
Dir.3.2 Dir.1 Dir.2 Dir.3
6
tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan
paling banyak Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).
3. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan
merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang
dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak
langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi
kriteria memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp.50.000.000,- (lima puluh
juta rupiah ) sampai dengan Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)
tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil
penjualan tahunan lebih dari Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah)
sampai dengan Rp.2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah).
4. Koperasi Simpan Pinjam yang selanjutnya disebut KSP adalah
Koperasi Primer yang kegiatannya hanya usaha simpan pinjam
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh
Koperasi.
5. Unit Simpan Pinjam Koperasi yang selanjutnya disebut USP-Kop
adalah unit Koperasi Primer yang bergerak di bidang usaha simpan
pinjam sebagai bagian dari kegiatan usaha Koperasi yang bersangkutan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh
Koperasi.
6. Koperasi Jasa Keuangan Syariah yang selanjutnya disebut KJKS,
adalah Koperasi Primer yang kegiatan usahanya bergerak di bidang
pembiayaan, investasi, dan simpanan sesuai dengan pola bagi hasil dan
atau jual beli / marjin (syariah).
7. Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi yang selanjutnya disebut
UJKS-Kop, adalah unit Koperasi Primer yang bergerak di bidang usaha
pembiayaan, investasi, dan simpanan dengan pola bagi hasil dan atau
jual beli/marjin (syariah) sebagai bagian dari kegiatan koperasi yang
bersangkutan.
8. Koperasi Primer adalah koperasi yang didirikan oleh dan
beranggotakan orang-seorang.
9. Pinjaman/Pembiayaan adalah pemberian penyediaan dana atau bentuk
lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu, yang disalurkan oleh
Dir 1.1 Dir.1.3 Dir.2.1 Dir.2.2 Dir.2.3 Dir.3.1
Dir.3.2 Dir.1 Dir.2 Dir.3
7
LPDB-KUMKM kepada KUMKM melalui Mitra LPDB-KUMKM maupun
langsung kepada KUMKM, yang digunakan untuk modal investasi dan
atau modal kerja, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam
atau perjanjian tertentu antara LPDB-KUMKM dengan Mitra
LPDB-KUMKM atau antara LPDM-KUMKM dengan KUMKM, yang
mewajibkan Mitra LPDB-KUMKM atau KUMKM untuk melunasi utangnya
kepada LPDB-KUMKM setelah jangka waktu tertentu dengan membayar
suatu Tarif/Imbalan Jasa tertentu.
10. Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah yang selanjutnya disebut LPDB-KUMKM adalah unit
organisasi non eselon di bidang pembiayaan yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil
dan Menengah dan secara administratif bertanggung jawab kepada
Sekretaris Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah.
11. Nisbah adalah proporsi pembagian keuntungan (bagi hasil) antara
Pemilik Dana (Shahibul Maal) dan Pengelola Dana (Mudharib) atas hasil
usaha yang dikerjasamakan.
12. Marjin adalah keuntungan usaha yang diperoleh Penjual atas hasil
transaksi penjualan dengan pihak pembelinya.
13. Lembaga/Tenaga Pendamping adalah lembaga/konsultan yang
mempunyai kompetensi di bidang pengembangan organisasi dan
manajemen keuangan Koperasi dan UKM melakukan pendampingan
dan konsultasi teknis pengelolaan usaha, pemantauan, pengawasan dan
evaluasi atas pemanfaatan dana bergulir oleh KSP/USP-Kop dan/atau
KJKS/UJKS-Kop.
14. Dinas/Badan Provinsi adalah Instansi Pemerintah Provinsi, yang
membidangi pembinaan dan pengembangan Koperasi dan UKM di
tingkat Provinsi.
15. Dinas/Badan Kabupaten/Kota, adalah Instansi Pemerintah Kabupaten/
Kota yang membidangi pembinaan dan pengembangan Koperasi dan
UKM di tingkat Kabupaten/Kota.
16. Rekening Pokok LPDB-KUMKM adalah rekening yang dibuka oleh
LPDB-KUMKM pada bank untuk menampung pengembalian angsuran
pokok dari Pinjaman/pembiayaan yang diberikan.
Dir 1.1 Dir.1.3 Dir.2.1 Dir.2.2 Dir.2.3 Dir.3.1
Dir.3.2 Dir.1 Dir.2 Dir.3
8
17. Rekening Bunga/Jasa LPDB-KUMKM adalah rekening yang dibuka
oleh LPDB-KUMKM pada bank untuk menampung pembayaran
bunga/jasa dari Pinjaman/pembiayaan yang diberikan.
18. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
19. Kelayakan Usaha KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop adalah
analisa usaha yang didasarkan atas penilaian aspek-aspek
kelembagaan, manajemen, keuangan dan rencana pengelolaan dana
bergulir.

BAB II
TUJUAN DAN SASARAN
Bagian kesatu
T u j u a n
Pasal 2
Tujuan pemberian pinjaman/pembiayaan kepada KSP/USP-Kop dan/atau
KJKS/UJKS-Kop adalah untuk :
1. Memperluas akses pinjaman/pembiayaan kepada UMK melalui
KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop.
2. Memperkuat permodalan KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop
dalam melayani pemberian pinjaman/pembiayaan kepada UMK.
3. Memperkuat peran KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop dalam
mendukung upaya perluasan kesempatan kerja dan pengentasan
kemiskinan.
Dir 1.1 Dir.1.3 Dir.2.1 Dir.2.2 Dir.2.3 Dir.3.1
Dir.3.2 Dir.1 Dir.2 Dir.3
9
Bagian Kedua
S a s a r a n
Pasal 3
Sasaran pemberian pinjaman/pembiayaan kepada KSP/USP-Kop dan/atau
KJKS/UJKS-Kop adalah:
1. Terealisasinya pemberian pinjaman/pembiayaan kepada KSP/USP-Kop
dan/atau KJKS/UJKS-Kop.
2. Terwujudnya peningkatan volume usaha KSP/USP-Kop dan/atau
KJKS/UJKS-Kop serta terciptanya lapangan kerja.
BAB III
PERSYARATAN KSP/USP-KOP DAN/ATAU KJKS/UJKS-KOP, DAN UMK
Bagian Kesatu
Persyaratan KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop
Pasal 4
Persyaratan KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop yang dapat diberikan
Pinjaman/pembiayaan oleh LPDB-KUMKM adalah sebagai berikut :
1. Koperasi Primer yang telah berbadan hukum.
2. Berpengalaman menjalankan usaha terutama terkait dengan tujuan
penggunaan pinjaman/pembiayaan dan memiliki kinerja baik selama 2
(dua) tahun terakhir yang ditunjukan dengan:
a. memperoleh SHU yang positif;
b. melaksanakan RAT tepat waktu.
Dir 1.1 Dir.1.3 Dir.2.1 Dir.2.2 Dir.2.3 Dir.3.1
Dir.3.2 Dir.1 Dir.2 Dir.3
10
3. Melayani jumlah anggota paling sedikit 20 orang.
4. Untuk seluruh Pinjaman/Pembiayaan atau dalam bentuk lainnya, dengan
plafond di atas Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah), harus dilengkapi
dengan laporan keuangan audited minimal 2 (dua) tahun terakhir, dengan
opini “minimal wajar dengan pengecualian”.
5. Bersedia menandatangani surat perjanjian secara notariil.
6. Pinjaman/pembiayaan yang diberikan oleh LPDB-KUMKM kepada
KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop adalah pinjaman/pembiayaan
dengan pola executing, dimana risiko kegagalan atas
pinjaman/pembiayaan tersebut menjadi tanggung jawab KSP/USP-Kop
dan/atau KJKS/UJKS-Kop.
Bagian Kedua
Persyaratan Usaha Mikro dan Kecil
Pasal 5
UMK yang dapat diberikan pelayanan oleh KSP/USP-Kop dan/atau
KJKS/UJKS-Kop sebagai berikut :
1. Menjalankan usaha produktif.
2. Memenuhi kriteria Usaha Mikro atau Usaha Kecil.
3. Usahanya layak sesuai dengan hasil penilaian KSP/USP-Kop dan/atau
KJKS/UJKS-Kop.
4. Bersedia memenuhi persyaratan pinjaman/pembiayaan yang berlaku pada
KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop.
Dir 1.1 Dir.1.3 Dir.2.1 Dir.2.2 Dir.2.3 Dir.3.1
Dir.3.2 Dir.1 Dir.2 Dir.3

11
BAB IV
PERSYARATAN, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB
LEMBAGA/TENAGA PENDAMPING
Bagian Kesatu
Persyaratan Lembaga/Tenaga Pendamping
Pasal 6
(1) LPDB-KUMKM dapat menunjuk Lembaga/Tenaga Pendamping apabila
diperlukan sesuai kesepakatan dengan pihak KSP/USP-Kop dan/atau
KJKS/UJKS-Kop.
(2) Persyaratan Lembaga/ Tenaga Pendamping untuk dapat ditunjuk
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sebagai berikut:
a. Persyaratan minimal Lembaga Pendamping;
1. Memiliki tenaga pendamping dan/atau mampu mengerahkan
tenaga pendamping;
2. Memiliki domisili kantor tetap.
b. Persyaratan minimal Tenaga Pendamping yaitu memiliki kompetensi
di bidang yang akan dibiayai.
Bagian Kedua
Tugas Dan Tanggung Jawab Lembaga/Tenaga Pendamping
Pasal 7
(1) Memberikan konsultasi teknis pengelolaan usaha, melakukan
pemantauan dan pengawasan atas pemanfaatan pinjaman/pembiayaan
oleh KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop secara berkala sekurangkurangnya
1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan setelah pelaksanaan
pencairan pinjaman/pembiayaan.
Dir 1.1 Dir.1.3 Dir.2.1 Dir.2.2 Dir.2.3 Dir.3.1
Dir.3.2 Dir.1 Dir.2 Dir.3
12
(2) Melakukan pendampingan kepada KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKSKop
yang meliputi :
a. Memberikan konsultasi teknis pengelolaan usaha simpan pinjam;
b. Memantau pelaksanaan pemberian pinjaman/pembiayaan dari KSP/
USP-Kop/KJKS/UJKS-Kop kepada anggota-anggotanya.
(3) Mengevaluasi kinerja KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop dan
melaporkannya secara triwulanan dan tahunan kepada LPDB-KUMKM.
(4) Fee Lembaga/Tenaga Pendamping dibayar oleh KSP/USP-Kop/
KJKS/UJKS-Kop.
(5) Kerjasama antara LPDB-KUMKM dengan Lembaga/Tenaga Pendamping
akan diatur lebih lanjut dalam Perjanjian Kerjasama.

BAB V
KETENTUAN PINJAMAN/PEMBIAYAAN
Pasal 8
(1) Ketentuan Pinjaman/pembiayaan dari LPDB-KUMKM kepada KSP/USPKop
dan/atau KJKS/UJKS-Kop adalah sebagai berikut :
a. Pinjaman/pembiayaan diberikan atas dasar analisa kelayakan
usaha;
b. Penggunaan pinjaman/pembiayaan untuk modal kerja bagi
KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop;
c. Jumlah pinjaman/pembiayaan sesuai kelayakan usaha;
d. Jangka waktu pinjaman/pembiayaan paling lama 5 (lima) tahun;
e. Tingkat suku bunga pinjaman/nisbah sesuai dengan tarif yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
f. Bunga pinjaman/bagi hasil pembiayaan dibayarkan secara bulanan
sampai dengan pinjaman/pembiayaan dilunasi, yang disetorkan ke
Rekening Jasa LPDB-KUMKM;
g. Pembayaran angsuran pokok pinjaman/pembiayaan dilakukan
paling lama setiap 3 (tiga) bulanan sampai dengan
Dir 1.1 Dir.1.3 Dir.2.1 Dir.2.2 Dir.2.3 Dir.3.1
Dir.3.2 Dir.1 Dir.2 Dir.3
13
pinjaman/pembiayaan dilunasi, yang disetorkan ke Rekening
Pengembalian Pokok Dana Bergulir LPDB-KUMKM;
h. Pinjaman/pembiayaan yang diterima oleh KSP/USP-Kop dan/atau
KJKS/UJKS-Kop harus disalurkan kembali kepada UMK dalam
jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kalender terhitung
sejak diterimanya dana bergulir dari LPDB-KUMKM pada rekening
KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop, yang dibuktikan dengan
laporan tertulis tentang realisasi penyaluran pinjaman/pembiayaan
yang ditandatangani oleh Pengurus KSP/USP-Kop dan/atau
KJKS/UJKS-Kop kepada LPDB-KUMKM;
i. Perjanjian Pinjaman/akad pembiayaan antara LPDB-KUMKM
dengan KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop dibuat dengan
akta otentik.
(2) Ketentuan pinjaman/pembiayaan dari KSP/USP-Kop dan/atau
KJKS/UJKS-Kop kepada UMK, sebagai berikut :
a. Pinjaman/pembiayaan diberikan atas dasar analisa kelayakan usaha;
b. Jenis pinjaman/pembiayaan untuk penambahan modal kerja dan atau
investasi usaha produktif UMK;
c. Jangka waktu pinjaman/pembiayaan tidak melebihi jangka waktu
pinjaman dengan LPDB-KUMKM kepada KSP/USP-Kop dan/atau
KJKS/UJKS-Kop
d. Ketentuan pinjaman/pembiayaan mengikuti ketentuan yang berlaku di
KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop;

BAB VI
PERMOHONAN PINJAMAN/PEMBIAYAAN, ANALISA KELAYAKAN
DAN KEPUTUSAN PINJAMAN/PEMBIAYAAN
Bagian Kesatu
Permohonan Pinjaman/Pembiayaan
Pasal 9
Dir 1.1 Dir.1.3 Dir.2.1 Dir.2.2 Dir.2.3 Dir.3.1
Dir.3.2 Dir.1 Dir.2 Dir.3
14
(1) KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Petunjuk Teknis ini dapat
mengajukan surat permohonan pinjaman/pembiayaan kepada LPDBKUMKM
dengan melampirkan kelengkapan sebagai berikut :
a. Profil koperasi;
b. Proposal pinjaman/pembiayaan yang berisikan antara lain kebutuhan
jumlah pinjaman/pembiayaan, rencana pemberian
pinjaman/pembiayaan kepada anggota dan pengembalian
pinjaman/pembiayaan yang tertuang dalam proyeksi cashflow;
c. Kelengkapan legalitas KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop, antara
lain photo copy Akta Pendirian dan AD/ART, serta perijinan lainnya;
d. Laporan pertanggung jawaban pengurus pada RAT untuk 2 (dua) tahun
buku terakhir;
e. Photo copy KTP pengurus KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop,
sesuai dengan hasil RAT tahun buku sesuai dengan persyaratan
dalam Pasal 5 Petunjuk Teknis ini;
f. Laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir bagi KSP/USP-Kop dan/atau
KJKS/UJKS-Kop yang mengajukan plafond pinjaman/pembiayaan
sampai dengan Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah);
g. Laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh
Akuntan Publik bagi KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop yang
mengajukan plafond pinjaman/pembiayaan Rp.1.000.000.000,- (satu
milyar rupiah) ke atas;
h. Photo copy sertifikat penilaian kesehatan KSP/USP-Kop dan/atau
KJKS/UJKS-Kop yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang 2 (dua)
tahun terakhir.
(2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditembuskan
kepada Dinas/Badan Provinsi dan Kabupaten/Kota di wilayah Koperasi
berdomisili.
Dir 1.1 Dir.1.3 Dir.2.1 Dir.2.2 Dir.2.3 Dir.3.1
Dir.3.2 Dir.1 Dir.2 Dir.3
15
Bagian Kedua
Analisa Kelayakan
Pasal 10
(1) Analisa Kelayakan terhadap KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop
dilakukan oleh LPDB-KUMKM dan/atau dengan menggunakan jasa pihak
ketiga/konsultan yang ditetapkan oleh LPDB-KUMKM.
(2) Analisa Kelayakan terhadap UMK dilakukan oleh KSP/USP-Kop dan/atau
KJKS/UJKS-Kop.
Bagian Ketiga
Keputusan Permohonan Pinjaman/Pembiayaan
Pasal 11
(1) Keputusan (persetujuan atau penolakan) atas pemberian
pinjaman/pembiayaan dari LPDB-KUMKM kepada KSP/USP-Kop
dan/atau KJKS/UJKS-Kop sepenuhnya merupakan kewenangan LPDBKUMKM
dan disampaikan kepada KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKSKop.
(2) Keputusan (persetujuan atau penolakan) atas pemberian
pinjaman/pembiayaan dari KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop
kepada UMK sepenuhnya merupakan kewenangan KSP/USP-Kop
dan/atau KJKS/UJKS-Kop.
Dir 1.1 Dir.1.3 Dir.2.1 Dir.2.2 Dir.2.3 Dir.3.1
Dir.3.2 Dir.1 Dir.2 Dir.3

16
BAB VII
PENCAIRAN PINJAMAN/PEMBIAYAAN DAN BIAYA
Bagian Kesatu
Pencairan Pinjaman/pembiayaan
Pasal 12
(1) KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop yang telah disetujui untuk
memperoleh Pinjaman/pembiayaan dari LPDB-KUMKM wajib
menandatangani perjanjian pinjaman/akad pembiayaan yang dibuat
dengan akta otentik.
(2) Setelah perjanjian pinjaman/ akad pembiayaan ditandatangani oleh
LPDB-KUMKM dan KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop dan
seluruh persyaratan pencairan telah dipenuhi maka LPDB-KUMKM akan
mencairkan dana Pinjaman/Pembiayaan tersebut ke rekening KSP/USPKop
dan/atau KJKS/UJKS-Kop, sesuai dengan surat permohonan
pencairan.
(3) LPDB-KUMKM memberitahukan kepada Dinas/Badan Provinsi tentang
pencairan pinjaman/pembiayaan sebagaimana dimaksud ayat (2).
(4) KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop wajib menginformasikan
realisasi dana bergulir yang telah diterima dari LPDB-KUMKM kepada
Dinas/Badan Provinsi dan Kabupaten Kota di wilayah Koperasi
berdomisili.
Bagian Kedua
Biaya-Biaya
Pasal 13
Biaya (Notaris, Imbal Jasa Penjaminan, Materai dan lain-lain) yang timbul
sehubungan dengan adanya Perjanjian Pinjaman/Akad Pembiayaan dan
Penjaminan Pinjaman/Pembiayaan antara LPDB-KUMKM dengan dengan
KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop menjadi beban KSP/USP-Kop
dan/atau KJKS/UJKS-Kop yang bersangkutan.
Dir 1.1 Dir.1.3 Dir.2.1 Dir.2.2 Dir.2.3 Dir.3.1
Dir.3.2 Dir.1 Dir.2 Dir.3

17
BAB VIII
MONITORING DAN EVALUASI
Bagian Kesatu
Monitoring dan Evaluasi
Pasal 14
Dalam rangka optimalisasi pelaksanaan pinjaman/pembiayaan, dilakukan
monitoring dan evaluasi secara periodik sebagai berikut :
1. KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop wajib menyampaikan laporan
realisasi penyaluran pinjaman/pembiayaan kepada LPDB-KUMKM.
2. KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop wajib menyampaikan laporan
kualitas pinjaman/pembiayaan yang disalurkan, setiap 3 (tiga) bulan
dan/atau sewaktu-waktu bila diperlukan kepada LPDB-KUMKM.
3. KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop wajib menyampaikan laporan
perkembangan usaha UMK penerima pinjaman/pembiayaan setiap 6
(enam) bulanan kepada LPDB-KUMKM.
4. Laporan sebagaimana yang dimaksud pada angka 1, angka 2 dan angka
3 ditembuskan kepada Dinas/Badan Provinsi dan Kabupaten Kota di
wilayah Koperasi berdomisili.
5. LPDB-KUMKM secara periodik memonitor, mengevaluasi dan
melaporkan perkembangan pinjaman/pembiayaan yang diberikan
sebagaimana dimaksud dalam Petunjuk Teknis ini kepada Menteri
Negara Koperasi dan UKM, dan Menteri Keuangan.
Dir 1.1 Dir.1.3 Dir.2.1 Dir.2.2 Dir.2.3 Dir.3.1
Dir.3.2 Dir.1 Dir.2 Dir.3
18
BAB IX
S A N K S I
Pasal 15
(1) Dalam hal KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop lalai membayar
bunga/bagi hasil dan/atau mengembalikan angsuran pokok
pinjaman/pembiayaan sesuai dengan jadwal angsuran (repayment
schedule) maka dikenakan denda sebesar 3% (tiga perseratus) per bulan
dari jumlah bunga/bagi hasil dan pinjaman/pembiayaan pokok yang
belum dibayarkan ke LPDB-KUMKM yang dihitung berdasarkan jumlah
hari keterlambatan.
(2) Dalam hal KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop lalai tidak
menyalurkan Pinjaman/Pembiayaan yang diperoleh dari LPDB-KUMKM
kepada UMK dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari
kalender terhitung sejak diterimanya dana Pinjaman/Pembiayaan dari
LPDB-KUMKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf h
Petunjuk Teknis ini, maka LPDB-KUMKM memberikan peringatan tertulis
kepada KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop, dan KSP/USP-Kop
dan/atau KJKS/UJKS-Kop wajib menyalurkan dana
Pinjaman/Pembiayaan tersebut dalam jangka waktu 14 (empat belas)
hari kerja terhitung sejak tanggal surat peringatan diterima oleh
KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop.
(3) Dalam hal KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop lalai tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud ayat (3) Pasal ini,
LPDB-KUMKM dapat menarik dana Pinjaman/Pembiayaan yang belum
disalurkan/digunakan oleh KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop.
(4) Dalam hal ditemukan adanya pelanggaran pidana maupun perdata oleh
pengurus dan atau pengelola dan/atau KSP/USP-Kop/KJKS/UJKS-Kop,
akan dilakukan tindakan secara hukum, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan yang berlaku.
Dir 1.1 Dir.1.3 Dir.2.1 Dir.2.2 Dir.2.3 Dir.3.1
Dir.3.2 Dir.1 Dir.2 Dir.3
19
BAB X
P E N U T U P
Pasal 16
Petunjuk Teknis ini dibuat untuk mengatur pemberian Pinjaman/Pembiayaan
dari LPDB-KUMKM kepada KSP/USP-Kop dan/atau KJKS/UJKS-Kop Primer
untuk disalurkan kembali dalam bentuk Pinjaman/Pembiayaan kepada Usaha
Mikro, Kecil (UMK).
Pasal 17
Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 Juli 2009
Direktur Utama
Ttd.
Fadjar Sofyar
NRK.200601001
Tembusan Yth :
1. Menteri Negara Koperasi dan UKM
2. Para Pejabat Eselon I di Kementrian Negara KUKM
3. Para Direktur di Lingkungan LPDB-KUMKM

Selasa, 07 Desember 2010

pp no 11 tahun 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2010
TENTANG
PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, hak atas tanah hapus antara lain
karena diterlantarkan;
b. bahwa saat ini penelantaran tanah makin menimbulkan
kesenjangan sosial, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat serta
menurunkan kualitas lingkungan, sehingga perlu pengaturan
kembali penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar;
c. bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang
Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, tidak dapat
lagi dijadikan acuan penyelesaian penertiban dan
pendayagunaan tanah terlantar sehingga perlu dilakukan
penggantian;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Penertiban dan Pendayagunaan
Tanah Terlantar;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2043);
3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan
Dengan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3632);
4. Undang-Undang . . .
- 2 -
4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3888);
5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4355);
6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 84,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4411);
7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437), sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4844);
8. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4725);
9. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068);
10.Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 58, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3643);
11.Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4737);
MEMUTUSKAN: . . .
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENERTIBAN DAN
PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak
Pakai adalah hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria.
2. Hak Pengelolaan adalah Hak Menguasai dari Negara yang
kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada
pemegangnya.
3. Dasar penguasaan atas tanah adalah izin/keputusan/surat
dari pejabat yang berwenang yang menjadi dasar bagi orang
atau badan hukum untuk menguasai, menggunakan, atau
memanfaatkan tanah.
4. Pemegang Hak adalah pemegang hak atas tanah, pemegang
Hak Pengelolaan, atau pemegang izin/keputusan/surat dari
pejabat yang berwenang yang menjadi dasar penguasaan atas
tanah.
5. Kepala adalah Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia.
6. Kepala Kantor Wilayah adalah Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional.
BAB II
OBYEK PENERTIBAN TANAH TERLANTAR
Pasal 2
Obyek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah
diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau
dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak
dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan
keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar
penguasaannya.
Pasal 3 . . .
- 4 -
Pasal 3
Tidak termasuk obyek penertiban tanah terlantar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
a. tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan atas nama
perseorangan yang secara tidak sengaja tidak dipergunakan
sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian
haknya; dan
b. tanah yang dikuasai pemerintah baik secara langsung
maupun tidak langsung dan sudah berstatus maupun belum
berstatus Barang Milik Negara/Daerah yang tidak sengaja
tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan
tujuan pemberian haknya.
BAB III
IDENTIFIKASI DAN PENELITIAN
Pasal 4
(1) Kepala Kantor Wilayah menyiapkan data tanah yang
terindikasi terlantar.
(2) Data tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai
dasar pelaksanaan identifikasi dan penelitian.
Pasal 5
(1) Identifikasi dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2) dilaksanakan oleh Panitia.
(2) Susunan keanggotaan Panitia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri dari unsur Badan Pertanahan Nasional dan
unsur instansi terkait yang diatur oleh Kepala.
Pasal 6
(1) Identifikasi dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) dilaksanakan:
a. terhitung mulai 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan Hak Milik,
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai; atau
b. sejak berakhirnya izin/keputusan/surat dasar
penguasaan atas tanah dari pejabat yang berwenang.
(2) Identifikasi . . .
- 5 -
(2) Identifikasi dan penelitian tanah terlantar meliputi:
a. nama dan alamat Pemegang Hak;
b. letak, luas, status hak atau dasar penguasaan atas tanah
dan keadaan fisik tanah yang dikuasai Pemegang Hak;
dan
c. keadaan yang mengakibatkan tanah terlantar.
Pasal 7
(1) Kegiatan identifikasi dan penelitian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 meliputi:
a. melakukan verifikasi data fisik dan data yuridis;
b. mengecek buku tanah dan/atau warkah dan dokumen
lainnya untuk mengetahui keberadaan pembebanan,
termasuk data, rencana, dan tahapan penggunaan dan
pemanfaatan tanah pada saat pengajuan hak;
c. meminta keterangan dari Pemegang Hak dan pihak lain
yang terkait, dan Pemegang Hak dan pihak lain yang
terkait tersebut harus memberi keterangan atau
menyampaikan data yang diperlukan;
d. melaksanakan pemeriksaan fisik;
e. melaksanakan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan
tanah pada peta pertanahan;
f. membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar;
g. menyusun laporan hasil identifikasi dan penelitian;
h. melaksanakan sidang Panitia; dan
i. membuat Berita Acara.
(2) Panitia menyampaikan laporan hasil identifikasi, penelitian,
dan Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
Kepala Kantor Wilayah.
BAB IV
PERINGATAN
Pasal 8
(1) Apabila berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) disimpulkan
terdapat tanah terlantar, maka Kepala Kantor Wilayah
memberitahukan dan sekaligus memberikan peringatan
tertulis pertama kepada Pemegang Hak, agar dalam jangka
waktu . . .
- 6 -
waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya surat
peringatan, menggunakan tanahnya sesuai keadaannya atau
menurut sifat dan tujuan pemberian haknya atau sesuai
izin/keputusan/surat sebagai dasar penguasaannya.
(2) Apabila Pemegang Hak tidak melaksanakan peringatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Wilayah
memberikan peringatan tertulis kedua dengan jangka waktu
yang sama dengan peringatan pertama.
(3) Apabila Pemegang Hak tidak melaksanakan peringatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Wilayah
memberikan peringatan tertulis ketiga dengan jangka waktu
yang sama dengan peringatan kedua.
(4) Peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) dilaporkan oleh Kepala Kantor Wilayah kepada
Kepala.
(5) Dalam hal tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) yang dibebani dengan Hak Tanggungan,
maka surat peringatan tersebut diberitahukan juga kepada
pemegang Hak Tanggungan.
(6) Apabila Pemegang Hak tetap tidak melaksanakan peringatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Kantor Wilayah
mengusulkan kepada Kepala untuk menetapkan tanah yang
bersangkutan sebagai tanah terlantar.
BAB V
PENETAPAN TANAH TERLANTAR
Pasal 9
(1) Kepala menetapkan tanah terlantar terhadap tanah yang
diusulkan oleh Kepala Kantor Wilayah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6).
(2) Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah
terlantar merupakan tanah hak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, penetapan tanah terlantar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat juga penetapan
hapusnya hak atas tanah, sekaligus memutuskan hubungan
hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara.
(3) Dalam . . .
- 7 -
(3) Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah
terlantar adalah tanah yang telah diberikan dasar
penguasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf b, penetapan tanah terlantar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memuat juga pemutusan hubungan hukum
serta penegasan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara.
Pasal 10
(1) Tanah yang ditetapkan sebagai tanah terlantar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), apabila merupakan
keseluruhan hamparan, maka hak atas tanahnya
dihapuskan, diputuskan hubungan hukumnya, dan
ditegaskan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara.
(2) Tanah yang ditetapkan sebagai tanah terlantar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), apabila merupakan
sebagian hamparan yang diterlantarkan, maka hak atas
tanahnya dihapuskan, diputuskan hubungan hukumnya dan
ditegaskan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara dan selanjutnya kepada bekas Pemegang Hak
diberikan kembali atas bagian tanah yang benar-benar
diusahakan, dipergunakan, dan dimanfaatkan sesuai dengan
keputusan pemberian haknya.
(3) Untuk memperoleh hak atas tanah atas bagian tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bekas Pemegang Hak
dapat mengajukan permohonan hak atas tanah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 11
(1) Apabila tanah hak yang diterlantarkan kurang dari atau sama
dengan 25% (dua puluh lima persen), maka Pemegang Hak
dapat mengajukan permohonan revisi luas atas bidang tanah
yang benar-benar digunakan dan dimanfaatkan sesuai
dengan keputusan pemberian haknya.
(2) Biaya atas revisi pengurangan luas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menjadi beban Pemegang Hak.
Pasal 12 . . .
- 8 -
Pasal 12
(1) Tanah yang diusulkan untuk ditetapkan sebagai tanah
terlantar, dinyatakan dalam keadaan status quo sejak tanggal
pengusulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6).
(2) Tanah yang dinyatakan dalam keadaan status quo
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dapat dilakukan
perbuatan hukum atas bidang tanah tersebut sampai
diterbitkan penetapan tanah terlantar yang memuat juga
penetapan hapusnya hak atas tanah, sekaligus memutuskan
hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara.
Pasal 13
(1) Tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar, dalam
jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak ditetapkannya
keputusan penetapan tanah terlantar, wajib dikosongkan oleh
bekas Pemegang Hak atas benda-benda di atasnya dengan
beban biaya yang bersangkutan.
(2) Apabila bekas Pemegang Hak tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka benda-benda di
atasnya tidak lagi menjadi miliknya, dan dikuasai langsung
oleh Negara.
Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penertiban tanah
terlantar diatur dalam Peraturan Kepala.
BAB VI
PENDAYAGUNAAN
TANAH NEGARA BEKAS TANAH TERLANTAR
Pasal 15
(1) Peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) didayagunakan
untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui reforma
agraria dan program strategis negara serta untuk cadangan
negara lainnya.
(2) Peruntukan . . .
- 9 -
(2) Peruntukan dan pengaturan peruntukan penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah negara bekas
tanah terlantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Kepala.
Pasal 16
Terhadap tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1)
yang berhubungan dengan penguasaan dan penggunaannya
tidak boleh diterbitkan izin/keputusan/surat dalam bentuk
apapun selain yang ditetapkan dalam Pasal 15.
Pasal 17
Pelaksanaan penertiban tanah terlantar dan pendayagunaan
tanah negara bekas tanah terlantar dilakukan oleh Kepala dan
hasilnya dilaporkan secara berkala kepada Presiden.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 18
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, terhadap
tanah yang telah diidentifikasi atau diberi peringatan sebagai
tanah terlantar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36
Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah
Terlantar, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan ditindaklanjuti
sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan
Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar dan peraturan pelaksanaannya
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 20
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar . . .
- 10 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Januari 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Januari 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 16
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2010010
TENTANG
PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR
I. UMUM
Tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi rakyat, bangsa dan
Negara Indonesia, yang harus diusahakan, dimanfaatkan, dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Saat ini tanah yang telah
dikuasai dan/atau dimiliki baik yang sudah ada hak atas tanahnya maupun
yang baru berdasar perolehan tanah di beberapa tempat masih banyak
dalam keadaan terlantar, sehingga cita-cita luhur untuk meningkatkan
kemakmuran rakyat tidak optimal. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penataan kembali untuk mewujudkan tanah sebagai sumber kesejahteraan
rakyat, untuk mewujudkan kehidupan yang lebih berkeadilan, menjamin
keberlanjutan sistem kemasyarakatan dan kebangsaan Indonesia, serta
memperkuat harmoni sosial. Selain itu, optimalisasi pengusahaan,
penggunaan, dan pemanfaatan semua tanah di wilayah Indonesia diperlukan
untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup, mengurangi kemiskinan
dan menciptakan lapangan kerja, serta untuk meningkatkan ketahanan
pangan dan energi.
Penelantaran tanah di pedesaan dan perkotaan, selain merupakan
tindakan yang tidak bijaksana, tidak ekonomis (hilangnya peluang untuk
mewujudnyatakan potensi ekonomi tanah), dan tidak berkeadilan, serta juga
merupakan pelanggaran terhadap kewajiban yang harus dijalankan para
Pemegang Hak atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah.
Penelantaran tanah juga berdampak pada terhambatnya pencapaian
berbagai tujuan program pembangunan, rentannya ketahanan pangan dan
ketahanan ekonomi nasional, tertutupnya akses sosial-ekonomi masyarakat
khususnya petani pada tanah, serta terusiknya rasa keadilan dan harmoni
sosial.
Negara memberikan hak atas tanah atau Hak Pengelolaan kepada
Pemegang Hak untuk diusahakan, dipergunakan, dan dimanfaatkan serta
dipelihara dengan baik selain untuk kesejahteraan bagi Pemegang Haknya
juga harus ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara.
Ketika Negara memberikan hak kepada orang atau badan hukum selalu
diiringi kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan
surat keputusan pemberian haknya. Karena itu Pemegang Hak dilarang
menelantarkan tanahnya, dan jika Pemegang Hak menelantarkan tanahnya,
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria telah mengatur akibat hukumnya
yaitu . . .
- 2 -
yaitu hapusnya hak atas tanah yang bersangkutan dan pemutusan
hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung
oleh Negara. Bagi tanah yang belum ada hak atas tanahnya, tetapi ada dasar
penguasaannya, penggunaan atas tanah tersebut harus dilandasi dengan
sesuatu hak atas tanah sesuai Pasal 4 juncto Pasal 16 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Oleh
karena itu orang atau badan hukum yang telah memperoleh dasar
penguasaan atas tanah, baik dengan pengadaan tanah itu dari hak orang
lain, memperoleh penunjukan dari pemegang Hak Pengelolaan, karena
memperoleh izin lokasi, atau memperoleh keputusan pelepasan kawasan
hutan berkewajiban memelihara tanahnya, mengusahakannya dengan baik,
tidak menelantarkannya, serta mengajukan permohonan untuk
mendapatkan hak atas tanah. Meskipun yang bersangkutan belum
mendapat hak atas tanah, apabila menelantarkan tanahnya maka hubungan
hukum yang bersangkutan dengan tanahnya akan dihapuskan dan
ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
Oleh sebab itu, penelantaran tanah harus dicegah dan ditertibkan
untuk mengurangi atau menghapus dampak negatifnya. Dengan demikian
pencegahan, penertiban, dan pendayagunaan tanah terlantar merupakan
langkah dan prasyarat penting untuk menjalankan program-program
pembangunan nasional, terutama di bidang agraria yang telah diamanatkan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, serta Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Tanah yang sudah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,
Hak Pakai, atau Hak Pengelolaan dinyatakan sebagai tanah terlantar
apabila tanahnya tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak
dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya.
Demikian pula tanah yang ada dasar penguasaannya dinyatakan sebagai
tanah terlantar apabila tanahnya tidak dimohon hak, tidak diusahakan,
tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan persyaratan
atau ketentuan yang ditetapkan dalam izin lokasi, surat keputusan
pemberian hak, surat keputusan pelepasan kawasan hutan, dan/atau
dalam izin/keputusan/surat lainnya dari pejabat yang berwenang.
Pasal 3 . . .
- 3 -
Pasal 3
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai
dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya” dalam
ketentuan ini adalah karena Pemegang Hak perseorangan dimaksud
tidak memiliki kemampuan dari segi ekonomi untuk
mengusahakan, mempergunakan, atau memanfaatkan sesuai
dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian haknya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai
dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya” dalam
ketentuan ini adalah karena keterbatasan anggaran negara/daerah
untuk mengusahakan, mempergunakan, atau memanfaatkan
sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian
haknya.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tanah yang terindikasi terlantar” adalah
tanah hak atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak
diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai
dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar
penguasaannya yang belum dilakukan identifikasi dan penelitian.
Untuk memperoleh data tanah terindikasi terlantar dilaksanakan
kegiatan inventarisasi yang hasilnya dilaporkan kepada Kepala.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8 . . .
- 4 -
Pasal 8
Ayat (1)
Dalam surat peringatan pertama perlu disebutkan hal-hal yang
secara konkret harus dilakukan oleh Pemegang Hak dan sanksi
yang dapat dijatuhkan apabila Pemegang Hak tidak mengindahkan
atau tidak melaksanakan peringatan dimaksud.
Ayat (2)
Dalam surat peringatan kedua, setelah memperhatikan kemajuan
dari surat peringatan pertama, menyebutkan kembali hal-hal
konkret yang harus dilakukan oleh Pemegang Hak dan sanksi yang
dapat dijatuhkan apabila Pemegang Hak tidak mengindahkan atau
tidak melaksanakan peringatan dimaksud.
Ayat (3)
Dalam surat peringatan ketiga yang merupakan peringatan
terakhir, setelah memperhatikan kemajuan dari surat peringatan
kedua, menyebutkan hal-hal konkret yang harus dilakukan oleh
Pemegang Hak dan sanksi yang dapat dijatuhkan apabila Pemegang
Hak tidak mengindahkan atau tidak melaksanakan peringatan
dimaksud.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11 . . .
- 5 -
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Tanah negara bekas tanah terlantar merupakan tanah cadangan
umum negara yang didayagunakan untuk kepentingan masyarakat
dan negara, melalui reforma agraria dan program strategis negara
serta untuk cadangan negara lainnya.
Reforma Agraria merupakan kebijakan pertanahan yang mencakup
penataan sistem politik dan hukum pertanahan serta penataan aset
masyarakat dan penataan akses masyarakat terhadap tanah sesuai
dengan jiwa Pasal 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, dan Pasal 10 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria. Penataan aset masyarakat dan penataan akses
masyarakat terhadap tanah dapat melalui distribusi dan
redistribusi tanah negara bekas tanah terlantar.
Program strategis negara antara lain untuk pengembangan sektor
pangan, energi, perumahan rakyat dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Cadangan negara lainnya antara lain untuk memenuhi kebutuhan
tanah untuk kepentingan pemerintah, pertahanan dan keamanan,
kebutuhan tanah akibat adanya bencana alam, relokasi dan
pemukiman kembali masyarakat yang terkena pembangunan untuk
kepentingan umum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 16 . . .
- 6 -
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5098

Senin, 28 Juni 2010

Perbandingan Undang-undang No. 23 Tahun 1997 dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2009

Perbandingan Undang-undang No. 23 Tahun 1997 dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2009

1. Dilihat dari Dasar Pertimbangan

Undang-Undang No 23 Tahun 1997
  1. Pasal ayat (1), pasal 20 ayat (1), dan pasal 33 ayat (3) Undang-undang dasar 1945

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
  1. Pasal 20, pasal 21, pasal 28H ayat (1), serta pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) Undang- undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Undang –undang No. 23 Tahun 1999 tentang Pengelolaan lingkunagn Hidup.
  3. Peraturan Mentri LH No. 11 Tahun 2008 tentang Persyaratan Kompetensi Penyusun Dokumen AMDAL.
  4. Peraturan Mentri No. 06 Tahun 2008 tentang Tata Laksana Lisensi Komisi Penilai AMDAL.

2. Dilihat dari Tujuan

Undang-Undang No 23 Tahun 1997

Pasal 3 : Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk melanjutkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009

Pasal 3 : Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan :
  • Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan / atau kerusakan lingkungan hidup
  • Menjamin keselamatan, kesehatan dan kehidupan manusia
  • Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem
  • Menjaga kelestarian fungsi lingkungan jidup
  • Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup
  • Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan
  • Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia
  • Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana
  • Mewujudkan pembangunan berkelanjutan
  • Mengantisipasi isu lingkungna global

3. Dilihat dari Fungsi

Undang-Undang No 23 Tahun 1997

Pasal 14 :
(1) Untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, setiap usaha dan/atau kegiatan dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
(2) Ketentuan mengenai baku mutu lingkungan hidup, pencegahan dan penanggulangan kerusakan serta pemulihan daya tampung diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(3) Ketentuan mengenai kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, pencegahan dan penanggulangan kerusakan serta pemulihan daya dukungnya diatur dengan peraturan Pemerintah.
Pasal 15 :
(1) Setiap rencana usaha dan/ atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup.
(2) Ketentuan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) , serta tata cara penyusunan dan penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009

Pasal 12 :
(1) Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan RPPLH
(2) Dalam hal RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersusun, pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan memperhatikan :
a. keberjanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup
b. keberlanjutan produktifitas lingkungan hidup
c. keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat
(3) Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh :
a. Menteri untuk daya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup nasional dan pulau/kepulauan.
b. Gubernur untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup propinsi dan ekoregion lintas kabupaten / kota
c. Bupati/ Walikota untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup kabupaten/kota dan ekoregion di wilayah kabupaten/kota.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah.

4. Dilihat dari Hal- hal Baru

1. Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup

Undang – undang No. 23 Tahun 1997
Pada undang-undang ini tidak dijelaskan mengenai Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup.

Undang – undang No. 32 Tahun 2009

Pasal 42 : (1) Dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrument ekonomi lingkungan hidup.
(2) Instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi
b. pendanaan lingkungan hidup
c. insentif dan / atau diinsentif
Pasal 43 : (1) Instrumen perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 ayat (2) huruf a meliputi:
a. Neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup
b. Penyusunan produk domestic bruto dan produk domestik regional bruto yang mencakup penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup.
c. Mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan antardaerah, dan
d. Internalisasi biaya lingkungan hidup

(2) Instrumen pendanaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b meliputi :
a. dana jaminan pemulihan lingkungan hidup
b. dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup , dan
c. dana amanah /bantuan untuk konservasi

(3) Insentif dan/atau disinsentif sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 ayat (2) huruf c antara lain ditetapkan dalam bentuk :
a. pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan hidup
b. penerapan pajak, retribusi, dan subsidi lingkungan hidup
c. pengembangan system lembaga keuangan dan pasar modal yang ramah lingkungan hidup
d. pengembangan system perdagangan izin pembuangan limbah dan/atau emisi
e. pengembangan system pembayaran jasa lingkungan hidup
f. pengembangan asuransi lingkungan hidup
g. pengembangan system label ramah lingkungan hidup, dan
h. system penghargaan kinerja di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai instrument ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 dan pasal 43 ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

2. Sanksi Administrasi

Undang-Undang No 23 Tahun 1997

Pasal 25 :
(1) Gubernur/ Kepala Daerah Tingkat I berwenwang melakukan paksaan pemerintahan terhadap penanggung jaawab usaha terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan /atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan / atau kegiatan, kecuali ditentukan berdasarkan undang-undang.
(2) Wewenang sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1), dapat diserahkan kepada Bupati/Walikotamadya/Kepala Daerah Tingkat II dengan Peraturan Daerah Tingkat I.
(3) Pihak ketiga yang berkepentingan berhak mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan paksaan pemerintahan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Paksaan Pemerintah sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dan ayat (2), didahului dengan surat perintah dari pejabat yang berwenang.
(5) Tindakan penyelamatan, penenggulangan dan /atau pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diganti dengan pembayaran sejumlah uang tertentu.
Pasal 26 : (1) Tata cara penetapan beban biaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (2) dan ayat (5) serta penagihannya ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dibentuk pelaksanaannya menggunakan upaya hokum menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 27 : (1) Pelanggaran tertentu dapat dijatuhi sanksi berupa pencabutan izin usaha dan /atau kegiatan.
(2) Kepala daerah dapat mengajukan usul untuk mencabut izin usaha dan / atau kegiatan kepada pejabat yang berwenang.
(3) Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatan karena merugikan kepentingannya.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
Pasal 76 : (1) Menteri , gubernur, atau bupati / walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan.
(2) Sanksi administratif terdiri atas :
a. teguran tertulis
b. paksaan pemerintah
c. pembekuan izin lingkungan ,atau
d. pencabutan izin lingkungan.
Pasal 77 : Menteri dapat menerapkan sanksi administratif terhadap penanggung jawab usaha dan /atau kegiatan jika Pemerintah menganggap pemerintah daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 78 : Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 tidak membebankan penanggung jawab usaha dan / atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana.
Pasal 79 : Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 ayat (2) huruf c dan huruf d dilakukan apabila penanggung jawab usaha dan /atau kegiatan tidak melaksanakan pelaksanaan pemerintah.
Pasal 80 :
(1) Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 ayat (2) huruf b berupa :
a. Penghentian sementara kegiatan produksi
b. Pemindahan sarana produksi
c. Penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi
d. Pembongkaran
e. Penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran
f. Penghentian sementara seluruh kegiatan, atau
g. Tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup
(2) Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan :
a. ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup.
b. dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera diberhentikan pencemaran dan /atau perusakannya ,dan /atau
c. kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan pencemaran dan /atau perusakannya.
Pasal 81 : Setiap penanggung jawab usaha dan /atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dapat dikenai denda atas setiap keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah.

Pasal 82 :
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang untuk memaksa penanggung jawab usaha dan /atau kegiatan untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup yang dilakukannya.
(2) Menteri, gubernur, bupati/ walikota berwenang atau dapt menunjuk pihak ketiga untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

Pasal 83 : ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.

3. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup.

Undang-Undang No 23 Tahun 1997

Pasal 30 :
(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.
(2) Penyelesaian sengketa luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaiamana diatur dalam undang-undang ini.
(3) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
Pasal 84 :
(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan.
(2) Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara suka rela oleh para pihak yang bersengketa.
(3) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.

PMH

Pengertian PMH

Dinamakan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum pada
umumnya. Hukum bukan saja berupa ketentuanketentuan undang-undang, tetapi juga aturanaturan hukum tidak tertulis, yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat. Kerugian yang ditimbulkan itu harus disebabkan karena perbuatan yang melawan hukum itu; antara lain kerugian-kerugian dan perbuatan itu harus ada hubungannya yang langsung; kerugian itu disebabkan karena kesalahan pembuat. Kesalahan adalah apabila pada pelaku ada kesengajaan atau kealpaan (kelalaian).

Perbuatan melawan hukum tidak hanya terdiri atas satu perbuatan, tetapi juga dalam tidak
berbuat sesuatu. Dalam KUH Perdata ditentukan pula bahwa setiap orang tidak saja bertanggungjawab terhadap kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi
juga terhadap kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan orang-orang yang ditanggungnya,
atau karena barang-barang yang berada dibawah pengawasannya.

Kriteria PMH
Substansi dari perbuatan melawan hokum adalah sebagai berikut:
a. bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau
b. melanggar hak subyektif orang lain, atau melanggar kaidah tata susila (goede zeden), atau
c. bertentangan dengan azas “Kepatutan”, ketelitian serta sikap hati-hati dalam pergaulan hidup masyarakat

Dengan turut memperhatikan dasar pertimbangan tersebut di atas, unsur-unsur yang terdapat dalam muatan pasal 1365 itu sendiri yang merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam halnya perbuatan melawan hukum, yaitu:
a. adanya tindakan yang melawan hukum;
b. ada kesalahan pada pihak yang melakukan; dan
c. ada kerugian yang diderita.
Misal:
Salah satu bentuk kegiatan PPK adalah pinjaman dana UEP kepada kelompok-kelompok yang dinilai layak. Pada pelaksanaannya telah terjadi proses pengembalian dana yang tidak sebagaimana mestinya karena ada satu kelompok yang anggotanya tidak melakukan pengembalian dana tanpa alasan yang jelas. Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) diatur dalam ps. 1365 sampai dengan ps.1380 KUHPer.

Perbuatan ini dapat digolongkan perbuatan melawan hukum, karena memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a. adanya pelanggaran atas ketentuan yang telah ditetapkan suatu aturan bahwa dana UEP yang disalurkan harus dikembalikan dalam jangka waktu tertentu;
b. adanya kesalahan yang dilakukan pelaku karena adalah hal yang berlaku dan menjadi suatu kepatutan untuk mengembalikan sesuatu yang dipinjam; dan
c. adanya kerugian yang timbul karena dananya tertahan sehingga tidak bias digulirkan kepada kelompok lain yang membutuhkan.

Dari uraian diatas, timbul satu pertanyaan, konsekuensi apa yang timbul terhadap seseorang melakukan perbuatan melawan hukum? Secara prinsip, pelaku PMH telah melakukan perbuatan yang mengakibatkan yang bersangkutan wajib mengganti kerugian (moril dan materil) terhadap pihak-pihak yang telah dirugikan (saudara serta pembeli) sebagaimana yang diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata.

Yang membedakan antara PMH dengan wanprestasi

Berbicara tentang PMH tentunya akan menghadapkan kita pada hal menentukan apakah suatu perbuatan itu merupakan PMH atau wanprestasi. Hal ini terjadi karena mungkin saja hal yang kita nilai sebagai PMH ternyata hanya merupakan wanprestasi semata. Kita perlu mengingat kembali bahwa wanprestasi terjadi apabila seorang yang telah ditetapkan prestasi sesuai dengan perjanjian tersebut tidak melaksanakan atau tidak memenuhi prestasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Di samping itu, ada 4 (empat) akibat yang dapat terjadi jika salah satu pihak melakukan wan
prestasi yaitu membayar kerugian yang diderita oleh pihak lain berupa ganti-rugi, dilakukan pembatalan perjanjian, peralihan resiko dan membayar biaya perkara jika sampai berperkara
dimuka hakim. Sementara itu, PMH dapat mengakibatkan perjanjian yang dibuat batal demi hokum karena perbuatan itu bertentangan dengan hukum pada umumnya. Satu hal yang perlu diingat adalah penggunaan terminologi PMH lebih luas dari pada wanprestasi dimana penggunaannya terbatatas
pada perjanjian perdata. Sedangkan terminology PMH diterapkan pula dalam hukum pidana jika
kita lihat pada pasal 2 ayat 1 UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan pembuat yang bersalah untuk mengganti kerugian (ps. 1365 KUHPer).
Melawan Hukum adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana (penjelasan pasal 2 ayat 1 UU No. 31/1999).

HUKUM YANG BERLAKU BAGI PERBUATAN MELAWAN HUKUM

Pengaturan tentang melawan hukum dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata hanya dalam beberapa pasal saja, sebagaimana juga terjadi di negara-negara yang menganut sistem Eropa Kontinental lainnya, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa gugatan perdata ada yang di pengadilan didominasi oleh gugatan melawan hukum, disamping gugatan ingkar janji kontrak (wanprestasi).

Perbuatan melawan hukum di sini dimaksudkan adalah sebagai melawan hukum keperdataan. Sebab, untuk perbuatan melawan hukum pidana (delik) atau kejahatan/pelanggaran pidana mempunyai arti dan pengaturan hukum yang berbeda.

Di negara-negara Eropa Kontinental, misalnya Belanda dikenal Istilah "Onrechtmatige Daad," atau di negara-negara Anglo Saxon dikenal dengan istilah "tort". Pengertian perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum yang oleh karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain.

Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut :
• Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan (pasal 1365);
• Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan/tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian (pasal 1366);
• Perbuatan melawan hukum karena kelalaian (1367).
Dalam hal pertautan antaravsuatu perbuatan melawan hukum dengan suatu perbuatan melawan hukum dengan suatu tempat asing dapat terjadi karena:
1. Pelaku perbuatan berdomisili atau berkewarganegaraan asing
2. Tindakan dilakukan di dalam suatu wilayah Negara asing
3. Akibat- akibat dari perbuatan timbul suatu wilayah Negara asing
4. Pihak yang dirugikan berdomisili atau berkewarganegaraan asing
Masalah-masalah HPI yang dapat timbul dari perkara semacam itu antara lain:
a. Berdasarkan system hukum mana penentuan kualitas suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hokum harus ditentukan.
b. Berdasarkan system hukum mana penetapan ganti rugi harus ditentukan
Untuk menjawab masalah-masalah tersebut adanya asas-asas, doktrin –doktrin utama dan teori-teori klasik yang berkembang di dalam hukum perdata internasional.

1. Hukum yang berlaku menurut teori Lex Loci Delicti Commissi

Teori Lex Loci Delicti Commissi atau singkatan lex loci delictii merupakan kaidah atau teori yang tertua dan umum diterima sejak lama tanpa menentukan tantangan sedikitpun. Teori Lex Loci Delicti Commissi atau teori prinsip yang dominerend paling berpengaruh. Penentuan kualitas suatu perbuatan sebagai PMH atau tidak harus dilakukan berdasarkan hukum dari tempat perbuatan itu dilakukan / terjadi termasuk penetapan tentang perikatan-perikatan yang terbit dari perbuatan itu (penetapan ganti rugi dan sebagainya) harus diatur berdasarkan hukum dari tempat timbulnya akibat perbuatan hukum. Hukum ini menentukan baik mengenai syarat-syaratnya maupun juga sampai sejauh manakah akibat-akibat dari padanya (tidak diadakan perbedaan antara syarat-syarat untuk perbuatana melanggar hukum dan akibat – akibat hukumnya).

Dalam sistem-sistem HPI Negara-negara terbanyak di dunia masih menganut teori lex loci delicti dan ada pula Negara-negara yang keberatan menganut teori tersebut alas an-alasan pro lex loci delicti antara lain:
1. Alasan dipermudahnya menentukan hukum
2. Alasan perlindungan harapan sewajarnya bagi khalayak ramai
3. Alasan preventive
4. Alasan demi kepentingan si pelanggar
5. Alasan uniformitas keputusan

Alasan keberatan-keberatan tersebut antara lain:
a. Tak sesuainya hard and fastrule
b. Perlindungan harapan public petition principia
c. Prevensi hanya relative
d. Tidak ada kesatuan universal
e. Keberatan sukarnya penentuan locus
f. Keberatan katena tak sesuai dengan suasana social

2. Hukum yang berlaku menurut Teori Lex Fori

Lex Fori juga menentukan kopetensi hakim. Pendapat demikian pernah dianut pula di Negara-negara lain seperti Inggris Perancis dahulu.
Bahwa penentuan kualitas suatu hukum forum sebagai PMH harus ditentukan oleh hukum forum (lex fori) termasuk penerapan hak dan tanggungjawab dari para pihak yang terlibat. Dengan pemakaian asas ini dijauhkan lex loci delicti antara lain karena locus sukar untuk ditentukan, sedangkan pemakaina lex loci diperoleh kepastian hukum.

3. Hukum yang berlaku menurut teori Lex Fori yang dikombinasikan dengan Lex Loci Delicti Commissi.

Pendirian HPI Inggris mengenai PMH memperlihatkan dua unsure terpenting yang harus dipenuhi untuk dapat berhasil suatu tuntutan kerugian dihadapan Hakim Inggris untuk perbuatan-perbuatan di luar negeri yaitu syarat actionability dan justifiability.
Syarat actionability berarti bahwa seorang penggugat dihadapan pengadilan Inggris harus dapat membuktikan bahwa tindakan sengketa tergugat apabila dilakukannya di dalam wilayah Inggris akan merupakan suatu perbuatan tort pula yang membawa kewajiban membayar ganti rugi, sedangkan syarat justifiable mengaitkan suatu kepada lex locus delicti. Perbuatan yang disengketakan harus juga merupakan PMH di tempat dimana ia dilakukan.
Kedua syarat tersebut hampir mendekati pemakaian dari lex fori akan tetapi dengan sedikit perlunakan untuk melindungkan tergugat yang perbuatannya adalah justifiable pada tempat dimana dilakukannya.

4. Hukum yang berlaku menurut teori Lex Loci Delicti Commissi dengan Pelembutan

Pada latar belakang semua keberatan –keberatan yang diajukan terhadap teori klasik mengenai Lex Loci Delicti Commissi Nampak ketidakpuasan dengan sifat kaku (rigide) yang mengakibatkan dipergunakan kaidah klasik itu secara werktuiglijk (automaticsh) oleh pihak hakim sebagai hard and fast rule tanpa memperlihatkan keadaan sekitarnya peristiwa bersangkutan, tak adanya souplesse atau soepelheid. Dengan demikian diperoleh suatu system yang soepel. Hakim tak terikat kepada kaidah penunjuk yang kaku melainkan ia bias selalu mengadakan perubahan seperlunya dalam nuanceling dan evaluasi beratnya tiap-tiap titik taut yang bersangkutan. Sang hakim dapat memperlihatkan antaranya: tempat dimana dilangsungkan, tempat dimana dilaksanakan hubungan hukum, kewarganegaraan para pihak, tempat kediaman mereka sebagainya.
Semua ini dapat ditentukan untuk tiap peristiwa, khusus (individueel,bijzonder), satu dan lain dalam hubungan dengan sengketa yang timbul antara para pihak yang berkontrak. Sistem yang berlaku untuk hukum kontrak ini dapat juga dipergunakan bagi PMH.

5. Cara menentukan tempat (Locus) suatu perbuatan melawan hukum

Locus perlu ditentukan oleh karena kaidah petunjuk lex loci delicti diakaitkan kepada tempat . Locus menjadi penting berkenaan dengan yuridiksi hakim, karena sengkali perkara harus diajukan dalam wilayah dimana telah terjadi tort tersebut.
Bahwa salah satu keberatan terhadap teori atau kaidah klasik tradisional acapkali tempat sukar untuk ditentukan, terutama apabila lebih dari satu tempat yang turut diperkaitkan atau apabila, sama sekali tidak ada hukum setempat yang berarti. Juga telah diadakannya berbagai konsepsi tertentu untuk menghindarkan kesulitan-kesulitan yang timbul karena penentuan locus.
Berbagai teori dikemukakan untuk memecahkan persoalan:
a. Tempat terjadinya kerugian
b. Tempat dilakukannya perbuatan
c. Kombinasi dengan kebebasan memilih
Metode yang harus dipakai ialah suatu individualizing method. Dengan demikian akan dihindarkan kesulitan-kesulitan yang timbul pada suatu waktu menentukan locus, terutama jika tort bersangkutan mempunyai hubungan dengan berbagai system hukum.