Senin, 28 Juni 2010

Perbandingan Undang-undang No. 23 Tahun 1997 dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2009

Perbandingan Undang-undang No. 23 Tahun 1997 dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2009

1. Dilihat dari Dasar Pertimbangan

Undang-Undang No 23 Tahun 1997
  1. Pasal ayat (1), pasal 20 ayat (1), dan pasal 33 ayat (3) Undang-undang dasar 1945

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
  1. Pasal 20, pasal 21, pasal 28H ayat (1), serta pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) Undang- undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Undang –undang No. 23 Tahun 1999 tentang Pengelolaan lingkunagn Hidup.
  3. Peraturan Mentri LH No. 11 Tahun 2008 tentang Persyaratan Kompetensi Penyusun Dokumen AMDAL.
  4. Peraturan Mentri No. 06 Tahun 2008 tentang Tata Laksana Lisensi Komisi Penilai AMDAL.

2. Dilihat dari Tujuan

Undang-Undang No 23 Tahun 1997

Pasal 3 : Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk melanjutkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009

Pasal 3 : Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan :
  • Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan / atau kerusakan lingkungan hidup
  • Menjamin keselamatan, kesehatan dan kehidupan manusia
  • Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem
  • Menjaga kelestarian fungsi lingkungan jidup
  • Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup
  • Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan
  • Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia
  • Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana
  • Mewujudkan pembangunan berkelanjutan
  • Mengantisipasi isu lingkungna global

3. Dilihat dari Fungsi

Undang-Undang No 23 Tahun 1997

Pasal 14 :
(1) Untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, setiap usaha dan/atau kegiatan dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
(2) Ketentuan mengenai baku mutu lingkungan hidup, pencegahan dan penanggulangan kerusakan serta pemulihan daya tampung diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(3) Ketentuan mengenai kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, pencegahan dan penanggulangan kerusakan serta pemulihan daya dukungnya diatur dengan peraturan Pemerintah.
Pasal 15 :
(1) Setiap rencana usaha dan/ atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup.
(2) Ketentuan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) , serta tata cara penyusunan dan penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009

Pasal 12 :
(1) Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan RPPLH
(2) Dalam hal RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersusun, pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan memperhatikan :
a. keberjanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup
b. keberlanjutan produktifitas lingkungan hidup
c. keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat
(3) Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh :
a. Menteri untuk daya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup nasional dan pulau/kepulauan.
b. Gubernur untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup propinsi dan ekoregion lintas kabupaten / kota
c. Bupati/ Walikota untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup kabupaten/kota dan ekoregion di wilayah kabupaten/kota.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah.

4. Dilihat dari Hal- hal Baru

1. Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup

Undang – undang No. 23 Tahun 1997
Pada undang-undang ini tidak dijelaskan mengenai Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup.

Undang – undang No. 32 Tahun 2009

Pasal 42 : (1) Dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrument ekonomi lingkungan hidup.
(2) Instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi
b. pendanaan lingkungan hidup
c. insentif dan / atau diinsentif
Pasal 43 : (1) Instrumen perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 ayat (2) huruf a meliputi:
a. Neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup
b. Penyusunan produk domestic bruto dan produk domestik regional bruto yang mencakup penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup.
c. Mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan antardaerah, dan
d. Internalisasi biaya lingkungan hidup

(2) Instrumen pendanaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b meliputi :
a. dana jaminan pemulihan lingkungan hidup
b. dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup , dan
c. dana amanah /bantuan untuk konservasi

(3) Insentif dan/atau disinsentif sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 ayat (2) huruf c antara lain ditetapkan dalam bentuk :
a. pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan hidup
b. penerapan pajak, retribusi, dan subsidi lingkungan hidup
c. pengembangan system lembaga keuangan dan pasar modal yang ramah lingkungan hidup
d. pengembangan system perdagangan izin pembuangan limbah dan/atau emisi
e. pengembangan system pembayaran jasa lingkungan hidup
f. pengembangan asuransi lingkungan hidup
g. pengembangan system label ramah lingkungan hidup, dan
h. system penghargaan kinerja di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai instrument ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 dan pasal 43 ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

2. Sanksi Administrasi

Undang-Undang No 23 Tahun 1997

Pasal 25 :
(1) Gubernur/ Kepala Daerah Tingkat I berwenwang melakukan paksaan pemerintahan terhadap penanggung jaawab usaha terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan /atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan / atau kegiatan, kecuali ditentukan berdasarkan undang-undang.
(2) Wewenang sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1), dapat diserahkan kepada Bupati/Walikotamadya/Kepala Daerah Tingkat II dengan Peraturan Daerah Tingkat I.
(3) Pihak ketiga yang berkepentingan berhak mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan paksaan pemerintahan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Paksaan Pemerintah sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dan ayat (2), didahului dengan surat perintah dari pejabat yang berwenang.
(5) Tindakan penyelamatan, penenggulangan dan /atau pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diganti dengan pembayaran sejumlah uang tertentu.
Pasal 26 : (1) Tata cara penetapan beban biaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (2) dan ayat (5) serta penagihannya ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dibentuk pelaksanaannya menggunakan upaya hokum menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 27 : (1) Pelanggaran tertentu dapat dijatuhi sanksi berupa pencabutan izin usaha dan /atau kegiatan.
(2) Kepala daerah dapat mengajukan usul untuk mencabut izin usaha dan / atau kegiatan kepada pejabat yang berwenang.
(3) Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatan karena merugikan kepentingannya.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
Pasal 76 : (1) Menteri , gubernur, atau bupati / walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan.
(2) Sanksi administratif terdiri atas :
a. teguran tertulis
b. paksaan pemerintah
c. pembekuan izin lingkungan ,atau
d. pencabutan izin lingkungan.
Pasal 77 : Menteri dapat menerapkan sanksi administratif terhadap penanggung jawab usaha dan /atau kegiatan jika Pemerintah menganggap pemerintah daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 78 : Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 tidak membebankan penanggung jawab usaha dan / atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana.
Pasal 79 : Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 ayat (2) huruf c dan huruf d dilakukan apabila penanggung jawab usaha dan /atau kegiatan tidak melaksanakan pelaksanaan pemerintah.
Pasal 80 :
(1) Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 ayat (2) huruf b berupa :
a. Penghentian sementara kegiatan produksi
b. Pemindahan sarana produksi
c. Penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi
d. Pembongkaran
e. Penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran
f. Penghentian sementara seluruh kegiatan, atau
g. Tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup
(2) Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan :
a. ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup.
b. dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera diberhentikan pencemaran dan /atau perusakannya ,dan /atau
c. kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan pencemaran dan /atau perusakannya.
Pasal 81 : Setiap penanggung jawab usaha dan /atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dapat dikenai denda atas setiap keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah.

Pasal 82 :
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang untuk memaksa penanggung jawab usaha dan /atau kegiatan untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup yang dilakukannya.
(2) Menteri, gubernur, bupati/ walikota berwenang atau dapt menunjuk pihak ketiga untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

Pasal 83 : ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.

3. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup.

Undang-Undang No 23 Tahun 1997

Pasal 30 :
(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.
(2) Penyelesaian sengketa luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaiamana diatur dalam undang-undang ini.
(3) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
Pasal 84 :
(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan.
(2) Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara suka rela oleh para pihak yang bersengketa.
(3) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.

PMH

Pengertian PMH

Dinamakan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum pada
umumnya. Hukum bukan saja berupa ketentuanketentuan undang-undang, tetapi juga aturanaturan hukum tidak tertulis, yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat. Kerugian yang ditimbulkan itu harus disebabkan karena perbuatan yang melawan hukum itu; antara lain kerugian-kerugian dan perbuatan itu harus ada hubungannya yang langsung; kerugian itu disebabkan karena kesalahan pembuat. Kesalahan adalah apabila pada pelaku ada kesengajaan atau kealpaan (kelalaian).

Perbuatan melawan hukum tidak hanya terdiri atas satu perbuatan, tetapi juga dalam tidak
berbuat sesuatu. Dalam KUH Perdata ditentukan pula bahwa setiap orang tidak saja bertanggungjawab terhadap kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi
juga terhadap kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan orang-orang yang ditanggungnya,
atau karena barang-barang yang berada dibawah pengawasannya.

Kriteria PMH
Substansi dari perbuatan melawan hokum adalah sebagai berikut:
a. bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau
b. melanggar hak subyektif orang lain, atau melanggar kaidah tata susila (goede zeden), atau
c. bertentangan dengan azas “Kepatutan”, ketelitian serta sikap hati-hati dalam pergaulan hidup masyarakat

Dengan turut memperhatikan dasar pertimbangan tersebut di atas, unsur-unsur yang terdapat dalam muatan pasal 1365 itu sendiri yang merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam halnya perbuatan melawan hukum, yaitu:
a. adanya tindakan yang melawan hukum;
b. ada kesalahan pada pihak yang melakukan; dan
c. ada kerugian yang diderita.
Misal:
Salah satu bentuk kegiatan PPK adalah pinjaman dana UEP kepada kelompok-kelompok yang dinilai layak. Pada pelaksanaannya telah terjadi proses pengembalian dana yang tidak sebagaimana mestinya karena ada satu kelompok yang anggotanya tidak melakukan pengembalian dana tanpa alasan yang jelas. Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) diatur dalam ps. 1365 sampai dengan ps.1380 KUHPer.

Perbuatan ini dapat digolongkan perbuatan melawan hukum, karena memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a. adanya pelanggaran atas ketentuan yang telah ditetapkan suatu aturan bahwa dana UEP yang disalurkan harus dikembalikan dalam jangka waktu tertentu;
b. adanya kesalahan yang dilakukan pelaku karena adalah hal yang berlaku dan menjadi suatu kepatutan untuk mengembalikan sesuatu yang dipinjam; dan
c. adanya kerugian yang timbul karena dananya tertahan sehingga tidak bias digulirkan kepada kelompok lain yang membutuhkan.

Dari uraian diatas, timbul satu pertanyaan, konsekuensi apa yang timbul terhadap seseorang melakukan perbuatan melawan hukum? Secara prinsip, pelaku PMH telah melakukan perbuatan yang mengakibatkan yang bersangkutan wajib mengganti kerugian (moril dan materil) terhadap pihak-pihak yang telah dirugikan (saudara serta pembeli) sebagaimana yang diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata.

Yang membedakan antara PMH dengan wanprestasi

Berbicara tentang PMH tentunya akan menghadapkan kita pada hal menentukan apakah suatu perbuatan itu merupakan PMH atau wanprestasi. Hal ini terjadi karena mungkin saja hal yang kita nilai sebagai PMH ternyata hanya merupakan wanprestasi semata. Kita perlu mengingat kembali bahwa wanprestasi terjadi apabila seorang yang telah ditetapkan prestasi sesuai dengan perjanjian tersebut tidak melaksanakan atau tidak memenuhi prestasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Di samping itu, ada 4 (empat) akibat yang dapat terjadi jika salah satu pihak melakukan wan
prestasi yaitu membayar kerugian yang diderita oleh pihak lain berupa ganti-rugi, dilakukan pembatalan perjanjian, peralihan resiko dan membayar biaya perkara jika sampai berperkara
dimuka hakim. Sementara itu, PMH dapat mengakibatkan perjanjian yang dibuat batal demi hokum karena perbuatan itu bertentangan dengan hukum pada umumnya. Satu hal yang perlu diingat adalah penggunaan terminologi PMH lebih luas dari pada wanprestasi dimana penggunaannya terbatatas
pada perjanjian perdata. Sedangkan terminology PMH diterapkan pula dalam hukum pidana jika
kita lihat pada pasal 2 ayat 1 UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan pembuat yang bersalah untuk mengganti kerugian (ps. 1365 KUHPer).
Melawan Hukum adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana (penjelasan pasal 2 ayat 1 UU No. 31/1999).

HUKUM YANG BERLAKU BAGI PERBUATAN MELAWAN HUKUM

Pengaturan tentang melawan hukum dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata hanya dalam beberapa pasal saja, sebagaimana juga terjadi di negara-negara yang menganut sistem Eropa Kontinental lainnya, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa gugatan perdata ada yang di pengadilan didominasi oleh gugatan melawan hukum, disamping gugatan ingkar janji kontrak (wanprestasi).

Perbuatan melawan hukum di sini dimaksudkan adalah sebagai melawan hukum keperdataan. Sebab, untuk perbuatan melawan hukum pidana (delik) atau kejahatan/pelanggaran pidana mempunyai arti dan pengaturan hukum yang berbeda.

Di negara-negara Eropa Kontinental, misalnya Belanda dikenal Istilah "Onrechtmatige Daad," atau di negara-negara Anglo Saxon dikenal dengan istilah "tort". Pengertian perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum yang oleh karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain.

Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut :
• Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan (pasal 1365);
• Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan/tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian (pasal 1366);
• Perbuatan melawan hukum karena kelalaian (1367).
Dalam hal pertautan antaravsuatu perbuatan melawan hukum dengan suatu perbuatan melawan hukum dengan suatu tempat asing dapat terjadi karena:
1. Pelaku perbuatan berdomisili atau berkewarganegaraan asing
2. Tindakan dilakukan di dalam suatu wilayah Negara asing
3. Akibat- akibat dari perbuatan timbul suatu wilayah Negara asing
4. Pihak yang dirugikan berdomisili atau berkewarganegaraan asing
Masalah-masalah HPI yang dapat timbul dari perkara semacam itu antara lain:
a. Berdasarkan system hukum mana penentuan kualitas suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hokum harus ditentukan.
b. Berdasarkan system hukum mana penetapan ganti rugi harus ditentukan
Untuk menjawab masalah-masalah tersebut adanya asas-asas, doktrin –doktrin utama dan teori-teori klasik yang berkembang di dalam hukum perdata internasional.

1. Hukum yang berlaku menurut teori Lex Loci Delicti Commissi

Teori Lex Loci Delicti Commissi atau singkatan lex loci delictii merupakan kaidah atau teori yang tertua dan umum diterima sejak lama tanpa menentukan tantangan sedikitpun. Teori Lex Loci Delicti Commissi atau teori prinsip yang dominerend paling berpengaruh. Penentuan kualitas suatu perbuatan sebagai PMH atau tidak harus dilakukan berdasarkan hukum dari tempat perbuatan itu dilakukan / terjadi termasuk penetapan tentang perikatan-perikatan yang terbit dari perbuatan itu (penetapan ganti rugi dan sebagainya) harus diatur berdasarkan hukum dari tempat timbulnya akibat perbuatan hukum. Hukum ini menentukan baik mengenai syarat-syaratnya maupun juga sampai sejauh manakah akibat-akibat dari padanya (tidak diadakan perbedaan antara syarat-syarat untuk perbuatana melanggar hukum dan akibat – akibat hukumnya).

Dalam sistem-sistem HPI Negara-negara terbanyak di dunia masih menganut teori lex loci delicti dan ada pula Negara-negara yang keberatan menganut teori tersebut alas an-alasan pro lex loci delicti antara lain:
1. Alasan dipermudahnya menentukan hukum
2. Alasan perlindungan harapan sewajarnya bagi khalayak ramai
3. Alasan preventive
4. Alasan demi kepentingan si pelanggar
5. Alasan uniformitas keputusan

Alasan keberatan-keberatan tersebut antara lain:
a. Tak sesuainya hard and fastrule
b. Perlindungan harapan public petition principia
c. Prevensi hanya relative
d. Tidak ada kesatuan universal
e. Keberatan sukarnya penentuan locus
f. Keberatan katena tak sesuai dengan suasana social

2. Hukum yang berlaku menurut Teori Lex Fori

Lex Fori juga menentukan kopetensi hakim. Pendapat demikian pernah dianut pula di Negara-negara lain seperti Inggris Perancis dahulu.
Bahwa penentuan kualitas suatu hukum forum sebagai PMH harus ditentukan oleh hukum forum (lex fori) termasuk penerapan hak dan tanggungjawab dari para pihak yang terlibat. Dengan pemakaian asas ini dijauhkan lex loci delicti antara lain karena locus sukar untuk ditentukan, sedangkan pemakaina lex loci diperoleh kepastian hukum.

3. Hukum yang berlaku menurut teori Lex Fori yang dikombinasikan dengan Lex Loci Delicti Commissi.

Pendirian HPI Inggris mengenai PMH memperlihatkan dua unsure terpenting yang harus dipenuhi untuk dapat berhasil suatu tuntutan kerugian dihadapan Hakim Inggris untuk perbuatan-perbuatan di luar negeri yaitu syarat actionability dan justifiability.
Syarat actionability berarti bahwa seorang penggugat dihadapan pengadilan Inggris harus dapat membuktikan bahwa tindakan sengketa tergugat apabila dilakukannya di dalam wilayah Inggris akan merupakan suatu perbuatan tort pula yang membawa kewajiban membayar ganti rugi, sedangkan syarat justifiable mengaitkan suatu kepada lex locus delicti. Perbuatan yang disengketakan harus juga merupakan PMH di tempat dimana ia dilakukan.
Kedua syarat tersebut hampir mendekati pemakaian dari lex fori akan tetapi dengan sedikit perlunakan untuk melindungkan tergugat yang perbuatannya adalah justifiable pada tempat dimana dilakukannya.

4. Hukum yang berlaku menurut teori Lex Loci Delicti Commissi dengan Pelembutan

Pada latar belakang semua keberatan –keberatan yang diajukan terhadap teori klasik mengenai Lex Loci Delicti Commissi Nampak ketidakpuasan dengan sifat kaku (rigide) yang mengakibatkan dipergunakan kaidah klasik itu secara werktuiglijk (automaticsh) oleh pihak hakim sebagai hard and fast rule tanpa memperlihatkan keadaan sekitarnya peristiwa bersangkutan, tak adanya souplesse atau soepelheid. Dengan demikian diperoleh suatu system yang soepel. Hakim tak terikat kepada kaidah penunjuk yang kaku melainkan ia bias selalu mengadakan perubahan seperlunya dalam nuanceling dan evaluasi beratnya tiap-tiap titik taut yang bersangkutan. Sang hakim dapat memperlihatkan antaranya: tempat dimana dilangsungkan, tempat dimana dilaksanakan hubungan hukum, kewarganegaraan para pihak, tempat kediaman mereka sebagainya.
Semua ini dapat ditentukan untuk tiap peristiwa, khusus (individueel,bijzonder), satu dan lain dalam hubungan dengan sengketa yang timbul antara para pihak yang berkontrak. Sistem yang berlaku untuk hukum kontrak ini dapat juga dipergunakan bagi PMH.

5. Cara menentukan tempat (Locus) suatu perbuatan melawan hukum

Locus perlu ditentukan oleh karena kaidah petunjuk lex loci delicti diakaitkan kepada tempat . Locus menjadi penting berkenaan dengan yuridiksi hakim, karena sengkali perkara harus diajukan dalam wilayah dimana telah terjadi tort tersebut.
Bahwa salah satu keberatan terhadap teori atau kaidah klasik tradisional acapkali tempat sukar untuk ditentukan, terutama apabila lebih dari satu tempat yang turut diperkaitkan atau apabila, sama sekali tidak ada hukum setempat yang berarti. Juga telah diadakannya berbagai konsepsi tertentu untuk menghindarkan kesulitan-kesulitan yang timbul karena penentuan locus.
Berbagai teori dikemukakan untuk memecahkan persoalan:
a. Tempat terjadinya kerugian
b. Tempat dilakukannya perbuatan
c. Kombinasi dengan kebebasan memilih
Metode yang harus dipakai ialah suatu individualizing method. Dengan demikian akan dihindarkan kesulitan-kesulitan yang timbul pada suatu waktu menentukan locus, terutama jika tort bersangkutan mempunyai hubungan dengan berbagai system hukum.