Selasa, 07 Desember 2010

pp no 11 tahun 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2010
TENTANG
PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, hak atas tanah hapus antara lain
karena diterlantarkan;
b. bahwa saat ini penelantaran tanah makin menimbulkan
kesenjangan sosial, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat serta
menurunkan kualitas lingkungan, sehingga perlu pengaturan
kembali penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar;
c. bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang
Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, tidak dapat
lagi dijadikan acuan penyelesaian penertiban dan
pendayagunaan tanah terlantar sehingga perlu dilakukan
penggantian;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Penertiban dan Pendayagunaan
Tanah Terlantar;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2043);
3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan
Dengan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3632);
4. Undang-Undang . . .
- 2 -
4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3888);
5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4355);
6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 84,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4411);
7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437), sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4844);
8. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4725);
9. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068);
10.Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 58, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3643);
11.Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4737);
MEMUTUSKAN: . . .
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENERTIBAN DAN
PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak
Pakai adalah hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria.
2. Hak Pengelolaan adalah Hak Menguasai dari Negara yang
kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada
pemegangnya.
3. Dasar penguasaan atas tanah adalah izin/keputusan/surat
dari pejabat yang berwenang yang menjadi dasar bagi orang
atau badan hukum untuk menguasai, menggunakan, atau
memanfaatkan tanah.
4. Pemegang Hak adalah pemegang hak atas tanah, pemegang
Hak Pengelolaan, atau pemegang izin/keputusan/surat dari
pejabat yang berwenang yang menjadi dasar penguasaan atas
tanah.
5. Kepala adalah Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia.
6. Kepala Kantor Wilayah adalah Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional.
BAB II
OBYEK PENERTIBAN TANAH TERLANTAR
Pasal 2
Obyek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah
diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau
dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak
dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan
keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar
penguasaannya.
Pasal 3 . . .
- 4 -
Pasal 3
Tidak termasuk obyek penertiban tanah terlantar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
a. tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan atas nama
perseorangan yang secara tidak sengaja tidak dipergunakan
sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian
haknya; dan
b. tanah yang dikuasai pemerintah baik secara langsung
maupun tidak langsung dan sudah berstatus maupun belum
berstatus Barang Milik Negara/Daerah yang tidak sengaja
tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan
tujuan pemberian haknya.
BAB III
IDENTIFIKASI DAN PENELITIAN
Pasal 4
(1) Kepala Kantor Wilayah menyiapkan data tanah yang
terindikasi terlantar.
(2) Data tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai
dasar pelaksanaan identifikasi dan penelitian.
Pasal 5
(1) Identifikasi dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2) dilaksanakan oleh Panitia.
(2) Susunan keanggotaan Panitia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri dari unsur Badan Pertanahan Nasional dan
unsur instansi terkait yang diatur oleh Kepala.
Pasal 6
(1) Identifikasi dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) dilaksanakan:
a. terhitung mulai 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan Hak Milik,
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai; atau
b. sejak berakhirnya izin/keputusan/surat dasar
penguasaan atas tanah dari pejabat yang berwenang.
(2) Identifikasi . . .
- 5 -
(2) Identifikasi dan penelitian tanah terlantar meliputi:
a. nama dan alamat Pemegang Hak;
b. letak, luas, status hak atau dasar penguasaan atas tanah
dan keadaan fisik tanah yang dikuasai Pemegang Hak;
dan
c. keadaan yang mengakibatkan tanah terlantar.
Pasal 7
(1) Kegiatan identifikasi dan penelitian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 meliputi:
a. melakukan verifikasi data fisik dan data yuridis;
b. mengecek buku tanah dan/atau warkah dan dokumen
lainnya untuk mengetahui keberadaan pembebanan,
termasuk data, rencana, dan tahapan penggunaan dan
pemanfaatan tanah pada saat pengajuan hak;
c. meminta keterangan dari Pemegang Hak dan pihak lain
yang terkait, dan Pemegang Hak dan pihak lain yang
terkait tersebut harus memberi keterangan atau
menyampaikan data yang diperlukan;
d. melaksanakan pemeriksaan fisik;
e. melaksanakan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan
tanah pada peta pertanahan;
f. membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar;
g. menyusun laporan hasil identifikasi dan penelitian;
h. melaksanakan sidang Panitia; dan
i. membuat Berita Acara.
(2) Panitia menyampaikan laporan hasil identifikasi, penelitian,
dan Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
Kepala Kantor Wilayah.
BAB IV
PERINGATAN
Pasal 8
(1) Apabila berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) disimpulkan
terdapat tanah terlantar, maka Kepala Kantor Wilayah
memberitahukan dan sekaligus memberikan peringatan
tertulis pertama kepada Pemegang Hak, agar dalam jangka
waktu . . .
- 6 -
waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya surat
peringatan, menggunakan tanahnya sesuai keadaannya atau
menurut sifat dan tujuan pemberian haknya atau sesuai
izin/keputusan/surat sebagai dasar penguasaannya.
(2) Apabila Pemegang Hak tidak melaksanakan peringatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Wilayah
memberikan peringatan tertulis kedua dengan jangka waktu
yang sama dengan peringatan pertama.
(3) Apabila Pemegang Hak tidak melaksanakan peringatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Wilayah
memberikan peringatan tertulis ketiga dengan jangka waktu
yang sama dengan peringatan kedua.
(4) Peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) dilaporkan oleh Kepala Kantor Wilayah kepada
Kepala.
(5) Dalam hal tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) yang dibebani dengan Hak Tanggungan,
maka surat peringatan tersebut diberitahukan juga kepada
pemegang Hak Tanggungan.
(6) Apabila Pemegang Hak tetap tidak melaksanakan peringatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Kantor Wilayah
mengusulkan kepada Kepala untuk menetapkan tanah yang
bersangkutan sebagai tanah terlantar.
BAB V
PENETAPAN TANAH TERLANTAR
Pasal 9
(1) Kepala menetapkan tanah terlantar terhadap tanah yang
diusulkan oleh Kepala Kantor Wilayah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6).
(2) Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah
terlantar merupakan tanah hak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, penetapan tanah terlantar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat juga penetapan
hapusnya hak atas tanah, sekaligus memutuskan hubungan
hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara.
(3) Dalam . . .
- 7 -
(3) Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah
terlantar adalah tanah yang telah diberikan dasar
penguasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf b, penetapan tanah terlantar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memuat juga pemutusan hubungan hukum
serta penegasan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara.
Pasal 10
(1) Tanah yang ditetapkan sebagai tanah terlantar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), apabila merupakan
keseluruhan hamparan, maka hak atas tanahnya
dihapuskan, diputuskan hubungan hukumnya, dan
ditegaskan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara.
(2) Tanah yang ditetapkan sebagai tanah terlantar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), apabila merupakan
sebagian hamparan yang diterlantarkan, maka hak atas
tanahnya dihapuskan, diputuskan hubungan hukumnya dan
ditegaskan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara dan selanjutnya kepada bekas Pemegang Hak
diberikan kembali atas bagian tanah yang benar-benar
diusahakan, dipergunakan, dan dimanfaatkan sesuai dengan
keputusan pemberian haknya.
(3) Untuk memperoleh hak atas tanah atas bagian tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bekas Pemegang Hak
dapat mengajukan permohonan hak atas tanah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 11
(1) Apabila tanah hak yang diterlantarkan kurang dari atau sama
dengan 25% (dua puluh lima persen), maka Pemegang Hak
dapat mengajukan permohonan revisi luas atas bidang tanah
yang benar-benar digunakan dan dimanfaatkan sesuai
dengan keputusan pemberian haknya.
(2) Biaya atas revisi pengurangan luas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menjadi beban Pemegang Hak.
Pasal 12 . . .
- 8 -
Pasal 12
(1) Tanah yang diusulkan untuk ditetapkan sebagai tanah
terlantar, dinyatakan dalam keadaan status quo sejak tanggal
pengusulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6).
(2) Tanah yang dinyatakan dalam keadaan status quo
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dapat dilakukan
perbuatan hukum atas bidang tanah tersebut sampai
diterbitkan penetapan tanah terlantar yang memuat juga
penetapan hapusnya hak atas tanah, sekaligus memutuskan
hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara.
Pasal 13
(1) Tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar, dalam
jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak ditetapkannya
keputusan penetapan tanah terlantar, wajib dikosongkan oleh
bekas Pemegang Hak atas benda-benda di atasnya dengan
beban biaya yang bersangkutan.
(2) Apabila bekas Pemegang Hak tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka benda-benda di
atasnya tidak lagi menjadi miliknya, dan dikuasai langsung
oleh Negara.
Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penertiban tanah
terlantar diatur dalam Peraturan Kepala.
BAB VI
PENDAYAGUNAAN
TANAH NEGARA BEKAS TANAH TERLANTAR
Pasal 15
(1) Peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) didayagunakan
untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui reforma
agraria dan program strategis negara serta untuk cadangan
negara lainnya.
(2) Peruntukan . . .
- 9 -
(2) Peruntukan dan pengaturan peruntukan penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah negara bekas
tanah terlantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Kepala.
Pasal 16
Terhadap tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1)
yang berhubungan dengan penguasaan dan penggunaannya
tidak boleh diterbitkan izin/keputusan/surat dalam bentuk
apapun selain yang ditetapkan dalam Pasal 15.
Pasal 17
Pelaksanaan penertiban tanah terlantar dan pendayagunaan
tanah negara bekas tanah terlantar dilakukan oleh Kepala dan
hasilnya dilaporkan secara berkala kepada Presiden.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 18
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, terhadap
tanah yang telah diidentifikasi atau diberi peringatan sebagai
tanah terlantar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36
Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah
Terlantar, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan ditindaklanjuti
sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan
Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar dan peraturan pelaksanaannya
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 20
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar . . .
- 10 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Januari 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Januari 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 16
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2010010
TENTANG
PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR
I. UMUM
Tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi rakyat, bangsa dan
Negara Indonesia, yang harus diusahakan, dimanfaatkan, dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Saat ini tanah yang telah
dikuasai dan/atau dimiliki baik yang sudah ada hak atas tanahnya maupun
yang baru berdasar perolehan tanah di beberapa tempat masih banyak
dalam keadaan terlantar, sehingga cita-cita luhur untuk meningkatkan
kemakmuran rakyat tidak optimal. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penataan kembali untuk mewujudkan tanah sebagai sumber kesejahteraan
rakyat, untuk mewujudkan kehidupan yang lebih berkeadilan, menjamin
keberlanjutan sistem kemasyarakatan dan kebangsaan Indonesia, serta
memperkuat harmoni sosial. Selain itu, optimalisasi pengusahaan,
penggunaan, dan pemanfaatan semua tanah di wilayah Indonesia diperlukan
untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup, mengurangi kemiskinan
dan menciptakan lapangan kerja, serta untuk meningkatkan ketahanan
pangan dan energi.
Penelantaran tanah di pedesaan dan perkotaan, selain merupakan
tindakan yang tidak bijaksana, tidak ekonomis (hilangnya peluang untuk
mewujudnyatakan potensi ekonomi tanah), dan tidak berkeadilan, serta juga
merupakan pelanggaran terhadap kewajiban yang harus dijalankan para
Pemegang Hak atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah.
Penelantaran tanah juga berdampak pada terhambatnya pencapaian
berbagai tujuan program pembangunan, rentannya ketahanan pangan dan
ketahanan ekonomi nasional, tertutupnya akses sosial-ekonomi masyarakat
khususnya petani pada tanah, serta terusiknya rasa keadilan dan harmoni
sosial.
Negara memberikan hak atas tanah atau Hak Pengelolaan kepada
Pemegang Hak untuk diusahakan, dipergunakan, dan dimanfaatkan serta
dipelihara dengan baik selain untuk kesejahteraan bagi Pemegang Haknya
juga harus ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara.
Ketika Negara memberikan hak kepada orang atau badan hukum selalu
diiringi kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan
surat keputusan pemberian haknya. Karena itu Pemegang Hak dilarang
menelantarkan tanahnya, dan jika Pemegang Hak menelantarkan tanahnya,
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria telah mengatur akibat hukumnya
yaitu . . .
- 2 -
yaitu hapusnya hak atas tanah yang bersangkutan dan pemutusan
hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung
oleh Negara. Bagi tanah yang belum ada hak atas tanahnya, tetapi ada dasar
penguasaannya, penggunaan atas tanah tersebut harus dilandasi dengan
sesuatu hak atas tanah sesuai Pasal 4 juncto Pasal 16 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Oleh
karena itu orang atau badan hukum yang telah memperoleh dasar
penguasaan atas tanah, baik dengan pengadaan tanah itu dari hak orang
lain, memperoleh penunjukan dari pemegang Hak Pengelolaan, karena
memperoleh izin lokasi, atau memperoleh keputusan pelepasan kawasan
hutan berkewajiban memelihara tanahnya, mengusahakannya dengan baik,
tidak menelantarkannya, serta mengajukan permohonan untuk
mendapatkan hak atas tanah. Meskipun yang bersangkutan belum
mendapat hak atas tanah, apabila menelantarkan tanahnya maka hubungan
hukum yang bersangkutan dengan tanahnya akan dihapuskan dan
ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
Oleh sebab itu, penelantaran tanah harus dicegah dan ditertibkan
untuk mengurangi atau menghapus dampak negatifnya. Dengan demikian
pencegahan, penertiban, dan pendayagunaan tanah terlantar merupakan
langkah dan prasyarat penting untuk menjalankan program-program
pembangunan nasional, terutama di bidang agraria yang telah diamanatkan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, serta Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Tanah yang sudah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,
Hak Pakai, atau Hak Pengelolaan dinyatakan sebagai tanah terlantar
apabila tanahnya tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak
dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya.
Demikian pula tanah yang ada dasar penguasaannya dinyatakan sebagai
tanah terlantar apabila tanahnya tidak dimohon hak, tidak diusahakan,
tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan persyaratan
atau ketentuan yang ditetapkan dalam izin lokasi, surat keputusan
pemberian hak, surat keputusan pelepasan kawasan hutan, dan/atau
dalam izin/keputusan/surat lainnya dari pejabat yang berwenang.
Pasal 3 . . .
- 3 -
Pasal 3
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai
dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya” dalam
ketentuan ini adalah karena Pemegang Hak perseorangan dimaksud
tidak memiliki kemampuan dari segi ekonomi untuk
mengusahakan, mempergunakan, atau memanfaatkan sesuai
dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian haknya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai
dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya” dalam
ketentuan ini adalah karena keterbatasan anggaran negara/daerah
untuk mengusahakan, mempergunakan, atau memanfaatkan
sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian
haknya.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tanah yang terindikasi terlantar” adalah
tanah hak atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak
diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai
dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar
penguasaannya yang belum dilakukan identifikasi dan penelitian.
Untuk memperoleh data tanah terindikasi terlantar dilaksanakan
kegiatan inventarisasi yang hasilnya dilaporkan kepada Kepala.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8 . . .
- 4 -
Pasal 8
Ayat (1)
Dalam surat peringatan pertama perlu disebutkan hal-hal yang
secara konkret harus dilakukan oleh Pemegang Hak dan sanksi
yang dapat dijatuhkan apabila Pemegang Hak tidak mengindahkan
atau tidak melaksanakan peringatan dimaksud.
Ayat (2)
Dalam surat peringatan kedua, setelah memperhatikan kemajuan
dari surat peringatan pertama, menyebutkan kembali hal-hal
konkret yang harus dilakukan oleh Pemegang Hak dan sanksi yang
dapat dijatuhkan apabila Pemegang Hak tidak mengindahkan atau
tidak melaksanakan peringatan dimaksud.
Ayat (3)
Dalam surat peringatan ketiga yang merupakan peringatan
terakhir, setelah memperhatikan kemajuan dari surat peringatan
kedua, menyebutkan hal-hal konkret yang harus dilakukan oleh
Pemegang Hak dan sanksi yang dapat dijatuhkan apabila Pemegang
Hak tidak mengindahkan atau tidak melaksanakan peringatan
dimaksud.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11 . . .
- 5 -
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Tanah negara bekas tanah terlantar merupakan tanah cadangan
umum negara yang didayagunakan untuk kepentingan masyarakat
dan negara, melalui reforma agraria dan program strategis negara
serta untuk cadangan negara lainnya.
Reforma Agraria merupakan kebijakan pertanahan yang mencakup
penataan sistem politik dan hukum pertanahan serta penataan aset
masyarakat dan penataan akses masyarakat terhadap tanah sesuai
dengan jiwa Pasal 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, dan Pasal 10 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria. Penataan aset masyarakat dan penataan akses
masyarakat terhadap tanah dapat melalui distribusi dan
redistribusi tanah negara bekas tanah terlantar.
Program strategis negara antara lain untuk pengembangan sektor
pangan, energi, perumahan rakyat dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Cadangan negara lainnya antara lain untuk memenuhi kebutuhan
tanah untuk kepentingan pemerintah, pertahanan dan keamanan,
kebutuhan tanah akibat adanya bencana alam, relokasi dan
pemukiman kembali masyarakat yang terkena pembangunan untuk
kepentingan umum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 16 . . .
- 6 -
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5098