Senin, 28 Juni 2010

PMH

Pengertian PMH

Dinamakan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum pada
umumnya. Hukum bukan saja berupa ketentuanketentuan undang-undang, tetapi juga aturanaturan hukum tidak tertulis, yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat. Kerugian yang ditimbulkan itu harus disebabkan karena perbuatan yang melawan hukum itu; antara lain kerugian-kerugian dan perbuatan itu harus ada hubungannya yang langsung; kerugian itu disebabkan karena kesalahan pembuat. Kesalahan adalah apabila pada pelaku ada kesengajaan atau kealpaan (kelalaian).

Perbuatan melawan hukum tidak hanya terdiri atas satu perbuatan, tetapi juga dalam tidak
berbuat sesuatu. Dalam KUH Perdata ditentukan pula bahwa setiap orang tidak saja bertanggungjawab terhadap kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi
juga terhadap kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan orang-orang yang ditanggungnya,
atau karena barang-barang yang berada dibawah pengawasannya.

Kriteria PMH
Substansi dari perbuatan melawan hokum adalah sebagai berikut:
a. bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau
b. melanggar hak subyektif orang lain, atau melanggar kaidah tata susila (goede zeden), atau
c. bertentangan dengan azas “Kepatutan”, ketelitian serta sikap hati-hati dalam pergaulan hidup masyarakat

Dengan turut memperhatikan dasar pertimbangan tersebut di atas, unsur-unsur yang terdapat dalam muatan pasal 1365 itu sendiri yang merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam halnya perbuatan melawan hukum, yaitu:
a. adanya tindakan yang melawan hukum;
b. ada kesalahan pada pihak yang melakukan; dan
c. ada kerugian yang diderita.
Misal:
Salah satu bentuk kegiatan PPK adalah pinjaman dana UEP kepada kelompok-kelompok yang dinilai layak. Pada pelaksanaannya telah terjadi proses pengembalian dana yang tidak sebagaimana mestinya karena ada satu kelompok yang anggotanya tidak melakukan pengembalian dana tanpa alasan yang jelas. Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) diatur dalam ps. 1365 sampai dengan ps.1380 KUHPer.

Perbuatan ini dapat digolongkan perbuatan melawan hukum, karena memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a. adanya pelanggaran atas ketentuan yang telah ditetapkan suatu aturan bahwa dana UEP yang disalurkan harus dikembalikan dalam jangka waktu tertentu;
b. adanya kesalahan yang dilakukan pelaku karena adalah hal yang berlaku dan menjadi suatu kepatutan untuk mengembalikan sesuatu yang dipinjam; dan
c. adanya kerugian yang timbul karena dananya tertahan sehingga tidak bias digulirkan kepada kelompok lain yang membutuhkan.

Dari uraian diatas, timbul satu pertanyaan, konsekuensi apa yang timbul terhadap seseorang melakukan perbuatan melawan hukum? Secara prinsip, pelaku PMH telah melakukan perbuatan yang mengakibatkan yang bersangkutan wajib mengganti kerugian (moril dan materil) terhadap pihak-pihak yang telah dirugikan (saudara serta pembeli) sebagaimana yang diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata.

Yang membedakan antara PMH dengan wanprestasi

Berbicara tentang PMH tentunya akan menghadapkan kita pada hal menentukan apakah suatu perbuatan itu merupakan PMH atau wanprestasi. Hal ini terjadi karena mungkin saja hal yang kita nilai sebagai PMH ternyata hanya merupakan wanprestasi semata. Kita perlu mengingat kembali bahwa wanprestasi terjadi apabila seorang yang telah ditetapkan prestasi sesuai dengan perjanjian tersebut tidak melaksanakan atau tidak memenuhi prestasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Di samping itu, ada 4 (empat) akibat yang dapat terjadi jika salah satu pihak melakukan wan
prestasi yaitu membayar kerugian yang diderita oleh pihak lain berupa ganti-rugi, dilakukan pembatalan perjanjian, peralihan resiko dan membayar biaya perkara jika sampai berperkara
dimuka hakim. Sementara itu, PMH dapat mengakibatkan perjanjian yang dibuat batal demi hokum karena perbuatan itu bertentangan dengan hukum pada umumnya. Satu hal yang perlu diingat adalah penggunaan terminologi PMH lebih luas dari pada wanprestasi dimana penggunaannya terbatatas
pada perjanjian perdata. Sedangkan terminology PMH diterapkan pula dalam hukum pidana jika
kita lihat pada pasal 2 ayat 1 UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan pembuat yang bersalah untuk mengganti kerugian (ps. 1365 KUHPer).
Melawan Hukum adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana (penjelasan pasal 2 ayat 1 UU No. 31/1999).

HUKUM YANG BERLAKU BAGI PERBUATAN MELAWAN HUKUM

Pengaturan tentang melawan hukum dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata hanya dalam beberapa pasal saja, sebagaimana juga terjadi di negara-negara yang menganut sistem Eropa Kontinental lainnya, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa gugatan perdata ada yang di pengadilan didominasi oleh gugatan melawan hukum, disamping gugatan ingkar janji kontrak (wanprestasi).

Perbuatan melawan hukum di sini dimaksudkan adalah sebagai melawan hukum keperdataan. Sebab, untuk perbuatan melawan hukum pidana (delik) atau kejahatan/pelanggaran pidana mempunyai arti dan pengaturan hukum yang berbeda.

Di negara-negara Eropa Kontinental, misalnya Belanda dikenal Istilah "Onrechtmatige Daad," atau di negara-negara Anglo Saxon dikenal dengan istilah "tort". Pengertian perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum yang oleh karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain.

Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut :
• Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan (pasal 1365);
• Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan/tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian (pasal 1366);
• Perbuatan melawan hukum karena kelalaian (1367).
Dalam hal pertautan antaravsuatu perbuatan melawan hukum dengan suatu perbuatan melawan hukum dengan suatu tempat asing dapat terjadi karena:
1. Pelaku perbuatan berdomisili atau berkewarganegaraan asing
2. Tindakan dilakukan di dalam suatu wilayah Negara asing
3. Akibat- akibat dari perbuatan timbul suatu wilayah Negara asing
4. Pihak yang dirugikan berdomisili atau berkewarganegaraan asing
Masalah-masalah HPI yang dapat timbul dari perkara semacam itu antara lain:
a. Berdasarkan system hukum mana penentuan kualitas suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hokum harus ditentukan.
b. Berdasarkan system hukum mana penetapan ganti rugi harus ditentukan
Untuk menjawab masalah-masalah tersebut adanya asas-asas, doktrin –doktrin utama dan teori-teori klasik yang berkembang di dalam hukum perdata internasional.

1. Hukum yang berlaku menurut teori Lex Loci Delicti Commissi

Teori Lex Loci Delicti Commissi atau singkatan lex loci delictii merupakan kaidah atau teori yang tertua dan umum diterima sejak lama tanpa menentukan tantangan sedikitpun. Teori Lex Loci Delicti Commissi atau teori prinsip yang dominerend paling berpengaruh. Penentuan kualitas suatu perbuatan sebagai PMH atau tidak harus dilakukan berdasarkan hukum dari tempat perbuatan itu dilakukan / terjadi termasuk penetapan tentang perikatan-perikatan yang terbit dari perbuatan itu (penetapan ganti rugi dan sebagainya) harus diatur berdasarkan hukum dari tempat timbulnya akibat perbuatan hukum. Hukum ini menentukan baik mengenai syarat-syaratnya maupun juga sampai sejauh manakah akibat-akibat dari padanya (tidak diadakan perbedaan antara syarat-syarat untuk perbuatana melanggar hukum dan akibat – akibat hukumnya).

Dalam sistem-sistem HPI Negara-negara terbanyak di dunia masih menganut teori lex loci delicti dan ada pula Negara-negara yang keberatan menganut teori tersebut alas an-alasan pro lex loci delicti antara lain:
1. Alasan dipermudahnya menentukan hukum
2. Alasan perlindungan harapan sewajarnya bagi khalayak ramai
3. Alasan preventive
4. Alasan demi kepentingan si pelanggar
5. Alasan uniformitas keputusan

Alasan keberatan-keberatan tersebut antara lain:
a. Tak sesuainya hard and fastrule
b. Perlindungan harapan public petition principia
c. Prevensi hanya relative
d. Tidak ada kesatuan universal
e. Keberatan sukarnya penentuan locus
f. Keberatan katena tak sesuai dengan suasana social

2. Hukum yang berlaku menurut Teori Lex Fori

Lex Fori juga menentukan kopetensi hakim. Pendapat demikian pernah dianut pula di Negara-negara lain seperti Inggris Perancis dahulu.
Bahwa penentuan kualitas suatu hukum forum sebagai PMH harus ditentukan oleh hukum forum (lex fori) termasuk penerapan hak dan tanggungjawab dari para pihak yang terlibat. Dengan pemakaian asas ini dijauhkan lex loci delicti antara lain karena locus sukar untuk ditentukan, sedangkan pemakaina lex loci diperoleh kepastian hukum.

3. Hukum yang berlaku menurut teori Lex Fori yang dikombinasikan dengan Lex Loci Delicti Commissi.

Pendirian HPI Inggris mengenai PMH memperlihatkan dua unsure terpenting yang harus dipenuhi untuk dapat berhasil suatu tuntutan kerugian dihadapan Hakim Inggris untuk perbuatan-perbuatan di luar negeri yaitu syarat actionability dan justifiability.
Syarat actionability berarti bahwa seorang penggugat dihadapan pengadilan Inggris harus dapat membuktikan bahwa tindakan sengketa tergugat apabila dilakukannya di dalam wilayah Inggris akan merupakan suatu perbuatan tort pula yang membawa kewajiban membayar ganti rugi, sedangkan syarat justifiable mengaitkan suatu kepada lex locus delicti. Perbuatan yang disengketakan harus juga merupakan PMH di tempat dimana ia dilakukan.
Kedua syarat tersebut hampir mendekati pemakaian dari lex fori akan tetapi dengan sedikit perlunakan untuk melindungkan tergugat yang perbuatannya adalah justifiable pada tempat dimana dilakukannya.

4. Hukum yang berlaku menurut teori Lex Loci Delicti Commissi dengan Pelembutan

Pada latar belakang semua keberatan –keberatan yang diajukan terhadap teori klasik mengenai Lex Loci Delicti Commissi Nampak ketidakpuasan dengan sifat kaku (rigide) yang mengakibatkan dipergunakan kaidah klasik itu secara werktuiglijk (automaticsh) oleh pihak hakim sebagai hard and fast rule tanpa memperlihatkan keadaan sekitarnya peristiwa bersangkutan, tak adanya souplesse atau soepelheid. Dengan demikian diperoleh suatu system yang soepel. Hakim tak terikat kepada kaidah penunjuk yang kaku melainkan ia bias selalu mengadakan perubahan seperlunya dalam nuanceling dan evaluasi beratnya tiap-tiap titik taut yang bersangkutan. Sang hakim dapat memperlihatkan antaranya: tempat dimana dilangsungkan, tempat dimana dilaksanakan hubungan hukum, kewarganegaraan para pihak, tempat kediaman mereka sebagainya.
Semua ini dapat ditentukan untuk tiap peristiwa, khusus (individueel,bijzonder), satu dan lain dalam hubungan dengan sengketa yang timbul antara para pihak yang berkontrak. Sistem yang berlaku untuk hukum kontrak ini dapat juga dipergunakan bagi PMH.

5. Cara menentukan tempat (Locus) suatu perbuatan melawan hukum

Locus perlu ditentukan oleh karena kaidah petunjuk lex loci delicti diakaitkan kepada tempat . Locus menjadi penting berkenaan dengan yuridiksi hakim, karena sengkali perkara harus diajukan dalam wilayah dimana telah terjadi tort tersebut.
Bahwa salah satu keberatan terhadap teori atau kaidah klasik tradisional acapkali tempat sukar untuk ditentukan, terutama apabila lebih dari satu tempat yang turut diperkaitkan atau apabila, sama sekali tidak ada hukum setempat yang berarti. Juga telah diadakannya berbagai konsepsi tertentu untuk menghindarkan kesulitan-kesulitan yang timbul karena penentuan locus.
Berbagai teori dikemukakan untuk memecahkan persoalan:
a. Tempat terjadinya kerugian
b. Tempat dilakukannya perbuatan
c. Kombinasi dengan kebebasan memilih
Metode yang harus dipakai ialah suatu individualizing method. Dengan demikian akan dihindarkan kesulitan-kesulitan yang timbul pada suatu waktu menentukan locus, terutama jika tort bersangkutan mempunyai hubungan dengan berbagai system hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar